REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ribuan santri telah berjajar membentuk barisan, bahkan saat jenazah KH. Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah, tiba di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Senin (3/2). Mereka tak henti-hentinya membacakan tahlil, tahmid, hingga lantunan ayat suci Alquran.
Sesampainya di Ponpes Tebuireng, jenazah langsung dibawa ke kediaman. Tidak lama berselang, jenazah kemudian diangkut keluar dari kediaman, untuk dishalatkan di masjid yang berada di kompleks Ponpes Tebuireng.
Saat itulah, tangis para santri pecah. Semula para santri yang dengan lantang membacakan tahlil, tiba-tiba bacaan tersebut terdengar lebih lemah. Isak tangis pun tak bisa dibendung.
Bahkan beberapa dari mereka harus ditenangkan terlebih dahulu agar bisa menghentikan tangisannya. "Yai (Kiyai), Yai, Yai, Yai," para santri bersautan memanggil pengasuhnya.
Selain itu, para santri yang berlomba-lomba ingin mengusap keranda jenazah, harus rela saling dorong dengan petugas keamanan dari TNI dan Banser. Tapi itu menyurutkan semangat mereka untuk memberikan penghormatan terakhir kepada sang guru.
Tidak sampai di situ, ketika shalat jenazah dilangsungkan, sang imam, yakni pengasuh Ponpes Tebu Ireng, Fahmi Amrullah (Gus Fahmi), terdengar jelas mengiringi bacaannya dengan isak tangis. Bahkan saat doa dilangsungkan, tangisan sang imam makin menjadi. Shalat jenazah ini dilakukan tiga kali, mengingat banyaknya santri dan warga yang ingin ikut menyalatkan.
Shalat jenazah tersebut diikuti KH. Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering dipanggil dengan Gus Mus, yang telah datang jauh sebelum jenazah Gus Sholah tiba. Hadir pula Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, dan tokoh lainnya.
Kondisi Gus Sholah diketahui terus menurun pasca menjalani bedah jantung pada Sabtu (1/2), sebelum dinyatakan meninggal pada Ahad (2/2) malam. Gus Sholah lahir di Jombang, 11 September 1942 dan menghembuskan nafas terakhir pada usia 77 Tahun.