REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH - Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) akan mengadakan pertemuan darurat di Jeddah, Arab Saudi guna membahas rencana perdamaian Timur Tengah gagasan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Senin (3/2). Pertemuan ini adalah permintaan dari kepemimpinan Palestina.
Pertemuan 57 anggota ini muncul dua hari setelah Liga Arab menolak kesepakatan abad ini, dan menyebut kesepakatan Trump tak memenuhi hak minimum dan aspirasi rakyat Palestina. OKI mengatakan, pertemuan komite eksekutif terbuka pada tingkat menteri luar negeri akan membahas posisi organisasi setelah pemerintah AS mengumumkan rencana perdamaiannya.
Dengan negara-negara anggota dari empat benua, OKI adalah organisasi antar pemerintah terbesar kedua di dunia setelah PBB. Populasi kolektifnya mencapai lebih dari 1,8 miliar dolar AS.
Mayoritas negara-negara anggotanya adalah negara-negara mayoritas Muslim, sementara yang lain memiliki populasi Muslim yang signifikan, termasuk beberapa negara Afrika dan Amerika Selatan.
Sementara 22 anggota Liga Arab juga merupakan bagian dari OKI. Organisasi ini memiliki beberapa negara anggota non-Arab yang signifikan, termasuk Turki, Iran, dan Pakistan. OKI juga memiliki lima anggota pengamat, termasuk Rusia dan Thailand.
Masih dalam kerangka OKI, Iran menuduh saingan regionalnya Arab Saudi melarang pejabatnya untuk menghadiri pertemuan OKI.
"Pemerintah Arab Saudi telah mencegah partisipasi delegasi Iran dalam pertemuan untuk mendatangi rapat 'kesepakatan abad ini' di markas besar Organisasi Kerjasama Islam," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Abbas Mousavi dikutip Aljazirah, Senin.
Mousavi mengatakan, Iran sebagai salah satu negara yang sangat mengecam rencana Trump, telah mengajukan keluhan kepada OKI dan menuduh saingan regionalnya menyalahgunakan posisinya sebagai tuan rumah bagi markas besar organisasi itu. Kendati demikian, Saudi belum bersedia berkomentar mengenai masalah ini.
Dalam menanggapi pernyataan Trump, Kementerian Luar Negeri Saudi menyatakan penghargaan atas upaya Trump dan dukungan untuk negosiasi perdamaian langsung di bawah nauangan Gedung Putih. Sementara media pemerintah Saudi melaporkan bahwa Raja Salman telah memanggil Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk meyakinkannya tentang komitmen tak tergoyahkan Riyadh untuk Palestina.
Pengumuman rencana Trump memang mendapat tanggapan beragam dari negara-negara Arab. Para pengamat mengatakan reaksi itu merupakan indikasi perpecahan di antara negara-negara Arab sendiri. Selain itu, pengamata juga menilai ketidakmampuan negara-negara Arab untuk memprioritaskan penderitaan rakyat Palestina atas agenda ekonomi domestik dan perhitungan politik sehubungan dengan pemerintahan Trump.
Untuk diketahui, pekan lalu, Trump didampingi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, rencana penyelesaian konflik Israel-Palestina telah lama tertunda. Menurut Trump, rencana itu "win win solution" bagi kedua belah pihak. Trump mengatakan, kesepakatan yang diusulkannya akan memastikan pembentukan solusi dua negara yang menjanjikan warga Palestina dengan ibu kota baru di Abu Dis.
Trump juga mengatakan, Yerusalem akan menjadi ibu kota yang tidak terbagi dari Israel. Sementara, Palestina ingin Yerusalem Timur dan Tepi Barat yang diduduki menjadi bagian dari negara masa depan mereka.