REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar Wakil Ketua Dewan Majelis Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Ghofur, ihwal aliran uang terkait kasus dugaan penerimaan hadiah terkait proyek di Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2016. Dana yang didalami termasuk aliran uang dari Hong Arta.
Abdul Ghofur diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi kasus tersebut, Senin (3/2). "Diperiksa terkait dengan pengetahuan yang bersangkutan, apakah mengetahui, melihat, merasa langsung terkait dengan pemberian sejumlah uang oleh tersangka HA (Hong Arta)," kata Plt Jubir KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri, di Gedung KPK, Jakarta, Senin.
Namun, Ali enggan mengungkap lebih jauh mengenai aliran uang dari Hong Arta tersebut. Ali menyatakan, informasi rinci mengenai aliran uang itu akan dibeberkan dalam proses persidangan nanti.
"Adapun mengenai detail informasi apakah yang bersangkutan mengetahui dan pertanyaan yang bersifat teknis tidak bisa kami sampaikan. Tentunya bisa terbuka untuk umum setelah dilimpahkan ke persidangan Pengadilan Tipikor," katanya.
Sebelumnya pada Rabu (29/1), penyidik juga memanggil Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau yang akrab dipanggil Cak Imin sebagai saksi dalam perkara ini. Penyidik mendalami terkait pengetahuan Cak Imin tentang aliran dana untuk dugaan suap PUPR jalan di Maluku dan Maluku Utara.
Sebelumnya, beberapa nama politisi PKB juga dipanggil lembaga antirasuah. Salah satunya Wakil Gubernur Lampung yang juga politikus PKB Chusnunia Chalim alias Nunik. Selain itu, tim penyidik pernah memeriksa tiga politisi PKB Fathan, Jazilul Fawaid, dan Helmi Faisal Zaini.
Dalam perkara ini, KPK menduga Hong Artha bersama-sama memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Kepala Badan Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary. Amran diduga menerima uang sebesar Rp 8 miliar dan Rp 2,6 miliar dari Hong Artha.
Hong Artha merupakan tersangka ke-12 setelah sebelumnya KPK menetapkan 11 orang lainnya. Dari 11 orang tersebut, 10 diantaranya sudah divonis bersalah dan dijebloskan ke penjara.
Penetapan status tersangka terhadap Hong Artha dilakukan pada 2 Juli 2019 lalu. Namun, hingga kini, KPK belum melakukan penahanan terhadap Hong Artha.
Kasus ini bermula dari penangkapan mantan anggota Komisi V DPR RI Damayanti pada 13 Januari 2016. Dalam perkara tersebut, Amran telah divonis enam tahun penjara dan denda Rp 800 juta subsider empat bulan kurungan karena menerima Rp2,6 miliar, Rp15,525 miliar, dan 202.816 dolar Singapura.
Sementara Damayanti juga telah divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima 278.700 dolar Singapura dan Rp1 miliar.