Selasa 04 Feb 2020 09:59 WIB

Wamenkeu: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih Kedua Terbesar

Perekonomian Indonesia bisa digenjot agar lebih tumbuh dari level lima persen.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika.co.id
Pertumbuhan ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menilai pertumbuhan ekonomi yang berada pada level lima persen merupakan pencapaian yang baik. Angka ini tumbuh positif dibandingkan negara-negara yang tergabung dalam G20.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada urutan kedua di bawah China. “Indonesia flat 5,2 persen pada tahun lalu, tahun ini 5-5,5 persen, artinya pertumbuhan yang oke diantara G20 yang negara besar. Pertumbuhan yang cukup menumbuhkan rasa optimisme,” ujarnya saat acara ‘BTN Market Outlook 2020’ di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (3/2) malam.

Baca Juga

Suahasil merinci pertumbuhan negara-negara yang tergabung G20 seperti Amerika Serikat hanya kisaran tiga persen, China sebesar 6,1 persen, Singapura pada level 0,1 persen, Jepang sebesar 1,7 persen dan India turun ke level 4,5 persen.

“Indonesia kedua terbesar setelah China, biasanya ada India tapi melorot,” ucapnya.

Menurutnya perekonomian Indonesia bisa digenjot agar lebih tumbuh dari level lima persen. Hanya saja, konsekuensi yang didapat adalah melonjaknya angka impor baik sektor konsumsi, bahan baku, maupun barang modal, sehingga kenaikan impor akan membuat neraca perdagangan semakin defisit.

"Masalahnya ekonomi kita kalau tumbuh cepat kita disergap sama impor, kalau ekonomi tumbuh cepat biasanya impor juga naik, ini karena ketergantungan impor pada konsumsi maupun bahan baku dan barang modal," jelasnya.

Permasalahan tersebut, dikatakan Suahasil bisa teratasi jika pemerintah bisa mendatangkan investasi langsung atau foreign direct investment (FDI). Namun, biasanya para investor harus beberapa faktor seperti kemudahan berusaha, kepastian hukum berusaha hingga keamanan sistem perpolitikan di dalam negeri.

"Kalau mau cari FDI biasanya mikirnya panjang mengenai kemudahan berusaha, dia mencari kemudahan perizinan, dia mencari pasarnya ada, ini PR serius sektor riil kita," ucapnya.

Suahasil menyebut ekonomi dunia pada 2019 hingga awal 2020 menghadapi kondisi yang tidak mudah. Ekonomi dunia menghadapi ancaman mulai British Exit (Brexit) pada awal 2019, kemudian disusul oleh Hong Kong yang bergejolak pada Maret.

"Tidak terlalu mengagetkan kalau tahun lalu itu volume pertumbuhan perdagangan internasional paling rendah seperti krisis keuangan 2008," ucapnya.

Selain kerusuhan Hong Kong, ada juga permasalahan dari Venezuela yang mengalami kondisi kurang beruntung. Kemudian, perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang penuh ketidakpastian.

"Tidak hanya itu, untuk kita sendiri. Kita menghadapi pemilu itu di April. Belum selesai ini semua. Kalau kalian ingat, ada juga fenomena Argentina mengalami krisis. Dia collaps pada Agustus," jelas Suahasil.

Tidak hanya Argentina, beberapa negara yang sempat mengalami krisis adalah Amerika Latin dan Chili. Setelah beberapa fenomena tersebut, ekonomi dunia juga dihajar oleh serangan fasilitas pengeboran minyak Saudi Aramco.

“Pada akhir tahun ada impechmen Trump (Presiden AS), masuk Januari 2020 ada jenderal Iran yang dibunuh, lalu dalam sebulan terakhir sibuk Corona," jelasnya.

Seluruh kondisi tersebut, kata Suahasil, membuat pertumbuhan volume perdagangan turun cukup tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement