REPUBLIKA.CO.ID, Perjalanan Nabi Muhammad SAW menuju Madinah tidaklah ringan. Rasulullah menghadapi sejumlah rintangan.
Dikutip dari Sirah Nabawiyah, Fir'adi Nasruddin Abu Ja'far, mengatakan setelah baiat 'Aqabah kedua dilakukan, Rasulullah SAW mengizinkan kaum Muslimin yang merasakan panasnya siksaan kaum musyrikin Quraisy terhadap mereka untuk melakukan hijrah ke Madinah.
Kaum Muslimin tidak bersedih hati ketika meninggalkan negeri, kerabat, orang tua, sanak saudara, istri dan anak-anak mereka. Bahkan hati mereka dipenuhi kegembiraan yang sulit di lukiskan dengan kata-kata, karena mereka dapat bebas beribadah kepada Allah SWT semata tanpa ada yang menghalang-halangi mereka. Itulah kemerdekaan yang sejati.
Kaum muslimin yang berhijrah ke Madinah mendapatkan berbagai hambatan dan rintangan yang cukup berat dari orang-orang Quraisy, di antaranya yaitu saat Shuhaib ar-Rumy RA hendak melaksanakan hijrah dengan membawa semua hartanya, maka Quraisy menghadangnya di tengah perjalanan seraya berkata:
"Kamu dulu datang kepada kami dalam keadaan miskin dan terhina lagi pailit, kemudian kamu menjadi kaya raya. Dan sekarang kamu hendak keluar meninggalkan Makkah dengan hartamu?, Jangan bermimpi, hal ini tidak boleh terjadi."
Shuhaib menjawab: "Kalau sekiranya aku tinggalkan hartaku untuk kalian apakah aku dibiarkan pergi?"
Mereka menjawab: "Tentu saja."
Lalu Shuhaib memberikan seluruh hartanya kepada mereka. Dan selanjutnya dia berlalu dari hadapan mereka untuk melanjutkan hijrah ke Madinah.
Setelah Nabi SAW mendengar kisahnya, beliau berkata: "Keuntungan yang besar bagi Shuhaib. Keuntungan yang besar bagi Shuhaib."
Ummu Salamah RA menuturkan kisahnya :
"Ketika suamiku Abu Salamah hendak melakukan hijrah ke Madinah, maka dia menaikkan aku ke untanya sedangkan Salamah putera kami berada dalam dekapanku.
Di saat kami baru saja berangkat meninggalkan Mekkah, datanglah beberapa orang dari Bani al-Mughirah seraya berkata: "Engkau kami perkenankan pergi tetapi tidak mungkin membawa putri kami (Ummu Salamah)."
Kemudian datanglah beberapa orang dari Bani Abdul Asad seraya berkata kepada Abu Salamah: "Kami perkenankan engkau pergi, tapi tidak dengan putra kami (Salamah)." Lalu Bani Abdul Asad mengambil paksa Salamah dari pelukan Ummu Salamah, sementara bani al-Mughirah mengambil paksa Ummu Salamah.
Tetapi, tekad Abu Salamah telah bulat untuk tetap melanjutkan perjalanan hijrahnya ke Madinah walaupun tanpa ditemani istri dan putranya.
Bila waktu petang menjelang Ummu Salamah pergi ke tempat dia dan keluarganya dipisahkan kaumnya. Air mata tak terbendung mengalir dengan derasnya karena terkenang orang-orang yang dikasihinya. Setelah itu dia kembali ke rumahnya. air matanya terus menetes selama satu tahun.
Hingga tibalah pada suatu hari, ada seorang laki-laki dari kabilah pamannya melintas di depannya lalu menghampirinya. Setelah memahami permasalahan yang dialaminya, maka lelaki tadi mengadakan negoisasi kepada kedua kabilah tersebut.
Akhirnya kedua kabilah tersebut memperkenankan Ummu Salamah untuk menyusul suaminya. Maka berangkatlah Ummu Salamah bersama putranya (dalam dekapannya) mengendarai unta menuju ke Madinah untuk menyusul suami tercinta.