REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyatakan keprihatinan besar soal bentrokan antara pasukan pemerintah Turki dan Suriah di Suriah barat laut, Idlib. Guterres menyerukan agar kekerasan dihentikan di sana.
Berbicara dengan wartawan di New York, Guterres menyatakan keprihatinannya pada bentrokan yang terjadi pada Senin (3/2). Delapan personil militer Turki terbunuh dalam serangan oleh pasukan pemerintah Suriah yang didukung Rusia.
"Kami sangat khawatir bahwa eskalasi kimi datang ke dalam situasi di mana tentara Turki dan tentara Suriah saling mengebom," kata Guterres dikutip Anadolu Agency, Rabu (5/2).
Dia juga menguraikan prioritasnya untuk 2020 pada sebuah konferensi pers selama satu jam. "Dan itu, tentu saja, adalah perubahan dalam sifat konflik yang sangat mengkhawatirkan, dan satu alasan lebih untuk penghentian permusuhan, sebelum eskalasi datang ke situasi yang kemudian menjadi benar-benar di luar kendali," ujarnya.
Guterres juga menyerukan kelompok-kelompok bersenjata untuk memungkinkan dikerahkannya pekerja bantuan untuk ratusan ribu warga sipil yang terkena dampak pertempuran di provinsi Idlib barat laut Suriah, benteng pertahanan yang dikuasai pemberontak terakhir dalam perang saudara di negara itu.
"Kami tidak percaya ada solusi militer untuk konflik di Suriah. Kami telah mengatakannya berkali-kali, bahwa solusinya adalah politis, dan bahwa proses itu perlu dilanjutkan melalui pembicaraan Jenewa dan kemudian melalui langkah-langkah berbeda yang terkait dengannya," kata kepala PBB itu.
Sekitar 20 personel militer tewas dalam baku-tembak antara pasukan Turki dan pasukan Bashar al-Assad. Hal ini tentu meningkatkan ketegangan antara Ankara dan Moskow hang mendukung pihak-pihak erseberangan di daerah kantong pemberontak Idlib yang hancur karena perang.
Padahal Turki dan Rusia sepakat pada September 2018 untuk mengubah Idlib menjadi zona de-eskalasi di mana tindakan agresi secara tegas dilarang. Namun rezim Suriah dan sekutunya, secara konsisten telah melanggar ketentuan-ketentuan gencatan senjata, termasuk gencatan senjata baru 12 Januari. Mereka kerap meluncurkan serangan di dalam zona dan menewaskan sedikitnya 1.300 warga sipil sejak perjanjian.
Turki telah mengeluhkan pembantaian dan melanjutkan serangan. Pemerintah Recep Tayyip Erdogan mendesak Rusia untuk mengekang sekutunya Assad untuk menghentikan pertumpahan darah.