REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan Pemerintah masih mengkaji rencana pemulangan warga negara negara Indonesia yang menjadi Foreign Terrorist Fighter (FTF) atau terduga teroris lintas-batas dari Indonesia. Menurut Wapres, Pemerintah tak ingin gegabah dalam memutuskan pemulangan ratusan WNI yang merupakan eks simpatisan ISIS tersebut. Menurutnya, jika WNI eks ISIS yang akan dipulangkan tersebut tidak ditangani tepat, maka bisa berdampak buruk bagi masyarakat lain.
"Pertama kita tidak ingin mereka yang sudah terpapar radikalisme itu tentu kalau dikembalikan apakah akan melakukan penularan apa tidak, (virus) corona saja kan kita lakukan observasi diisolasi dulu, nah (WNI eks ISIS) ini juga harus dipikirkan, berbahaya juga," ujar Ma'ruf di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (5/2).
Karena itu, Ma'ruf mengatakan butuh kajian komprehensif terkait rencana pemulangan 660 WNI tersebut, khususnya mengenai mekanisme saat maupun usai dipulangkan ke Tanah Air.
Ma'ruf melanjutkan, begitu pun usulan agar pemulangan dilakukan secara bertahap, mulai dari kelompok paling rentan, yakni anak yatim berusia di bawah 15 tahun dan tidak memiliki pendamping. Menurut Ma'ruf, opsi tersebut juga menjadi satu kesatuan yang akan dibahas dalam rencana pemulangan WNI eks ISIS tersebut.
"Kebijakan menyeluruh apakah dipulangkan apa tidak. Kalau dipulangkan caranya bagaimana kemudian bagaimana supaya tidak memberikan dampak kepada yang lain, jadi memang itu pembahsannya harus komprehensif," ujar Ma'ruf.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan keputusan kepulangan WNI yang menjadi Foreign Terrorist Fighter (FTF) atau terduga teroris lintas-batas dari Indonesia pada Mei atau Juni 2020. Pemerintah sedang mempertimbangkan apakah mereka dipulangkan atau tidak.
Mahfud menuturkan pemerintah telah mendata ada sekitar 660 WNI yang identitasnya dikenali dan tersebar di beberapa negara di Timur Tengah. Mereka semua merupakan eks simpatisan ISIS.
"Ada yang punya catatan sampai 1.100, tapi itu kiraan hanya karena bertemu dan bahasanya sama, tapi identitasnya ndak dikenal juga di mana-mana, di Syria, di Turki, di Afghanistan, di mana-mana ada beberapa negara," ucapnya.