Rabu 05 Feb 2020 21:28 WIB

Waspadai Titik Awal Penurunan Daya Beli Masyarakat

Pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada kuartal keempat 2019 melambat.

Konsumen memilih cabai merah yang dijajakan pedagang di pasar tradisional Peunayong, Banda Aceh, Aceh, Senin (3/2). BPS mencatat terjadi perlambatan konsumsi rumah tangga pada kuartal IV 2019. (ilustrasi)
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Konsumen memilih cabai merah yang dijajakan pedagang di pasar tradisional Peunayong, Banda Aceh, Aceh, Senin (3/2). BPS mencatat terjadi perlambatan konsumsi rumah tangga pada kuartal IV 2019. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Sapto Andika Candra

Baca Juga

Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan, perlambatan konsumsi rumah tangga patut diwaspadai sebagai titik awal penurunan daya beli masyarakat. Hal itu terungkap dalam data yang dipaparkan BPS dalam konferensi persenya, Rabu (5/2).

Pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada kuartal keempat 2019 sebesar 4,97 persen (year on year/ yoy). Angka ini merupakan laju terlambat sepanjang tahun.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, perlambatan terjadi karena penjualan eceran yang tumbuh melambat menjadi 1,52 persen dari 4,73 persen pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Di sisi lain, penjualan wholesale sepeda motor dan mobil penumpang masing-masing terkontraksi sebesar 5,60 persen dan 7,24 persen.

"Tapi, kita tetap lihat nanti ke depannya dengan tetap memperhatikan komponen-komponennya yang bisa naik dan turun," tuturnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (5/2).

Berdasarkan data BPS, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tertinggi pada 2019 terjadi pada kuartal kedua, 5,18 persen. Sedangkan, pada kuartal pertama dan ketiga, pertumbuhannya adalah masing-masing 5,02 persen dan 5,01 persen. Dengan kondisi tersebut, sepanjang 2019, pertumbuhannya adalah 5,04 persen, melambat dibandingkan 2018, 5,05 persen.

Kewaspadaan terhadap perlambatan konsumsi rumah tangga juga harus dilakukan mengingat selama ini, komponen tersebut memberikan andil terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada kuartal keempat 2019, sebesar 57,32 persen struktur PDB berasal dari komponen ini. Sedangkan, sepanjang 2019, peranannya mencapai 56,62 persen, lebih tinggi dari 2018, 55,76 persen.

Apabila dibedah, Suhariyanto mengatakan, fenomena lain yang juga mendukung perlambatan ini adalah nilai transaksi uang elektronik, kartu debit dan kartu kredit yang tumbuh melambat. Dari semula 13,81 persen pada kuartal keempat 2018 menjadi hanya 3,85 persen pada kuartal lalu.

Dari beberapa komponen konsumsi rumah tangga, Suhariyanto menuturkan, pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya mengalami laju paling lambat. Pertumbuhan pada kuartal keempat 2019 adalah 3,76 persen dari 4,12 persen pada kuartal keempat 2018.

"Mungkin karena tren gaya hidup yang bergeser, di mana banyak orang sudah tidak berganti baju sesering sebelum-sebelumnya," katanya.

photo
Kepala BPS Suhariyanto (batik) dalam konferensi pers Pertumbuhan Ekonomi Indonesai Kuartal IV 2019 di kantornya, Jakarta, Rabu (5/2).

Selain perlambatan konsumsi rumah tangga, BPS juga menyoroti pertumbuhan industri pengolahan. Pada 2018, pertumbuhannya mencapai 4,27 persen yang menjadi 3,80 persen pada tahun lalu. Tren ini disebabkan kontraksinya sejumlah lapangan usaha di industri nonmigas, seperti alat angkutan serta barang logam.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, perlambatan industri pengolahan patut menjadi perhatian. Sebab, kontribusinya menjadi yang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yaitu hingga 19,70 persen.

"Nilainya pasti berpengaruh besar ke ekonomi kita," tuturnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (5/2).

Suhariyanto menuturkan, perlambatan pada industri manufaktur tak pelak membuat pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 terdampak melambat. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 adalah 5,02 persen, turun dibandingkan tahun sebelumnya yang dapat menyentuh 5,17 persen.

Apabila dilihat secara subsektor, ada dua lapangan usaha di industri nonmigas yang mengalami kontraksi. Mereka adalah industri alat angkutan yang tumbuh minus 3,43 persen pada 2019, dari sebelumnya 4,24 persen pada tahun sebelumnya. Selain itu, industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik dan peralatan listrik juga tumbuh negatif 0,51 persen.

Di sisi lain, Suhariyanto menambahkan, ada juga subsektor yang masih tumbuh positif dan berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sebut saja industri makanan dan minuman yang tumbuh 7,78 persen sepanjang 2019.

"Memang banyak industri makanan minuman yang tumbuh di beberapa sentra, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat," katanya.

Industri tekstil dan pakaian jadi pun tumbuh 15,35 persen, naik signifikan dibandingkan tahun 2018, 8,73 persen. Suhariyanto mengatakan, terjadi peningkatan produksi di beberapa daerah yang merupakan kantong produksi dan pertumbuhan permintaan dari luar negeri.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menanggapi rilis BPS yang menyebutkan ekonomi Indonesia tercatat tumbuh 5,02 persen sepanjang 2019. Presiden memandang, realisasi pertumbuhan ekonomi seperti yang dicatatkan BPS sudah patut disyukuri.

Jokowi menyampaikan, tak mudah bagi Indonesia mempertahankan kinerja pertumbuhan ekonomi di tengah iklim dunia yang mendung. Perlambatan ekonomi, menurut Jokowi, juga dialami banyak negara lain di dunia.

Di tengah dinamika dunia tersebut, Jokowi melihat Indonesia masih cukup tangguh menjaga angka pertumbuhan di atas angka 5 persen. Di antara negara-negara G20, ujar Jokowi, kinerja pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bahkan duduk di peringkat dua di bawah Cina.

"Patut kita syukuri, yang lain-lain bukan turun, anjlok. Kita ini kalau enggak kita syukuri artinya kufur nikmat. Pertahankan pada posisi yang seperti ini saja sulit sekali," jelas Presiden Jokowi di Istana Negara, Rabu (5/2).

photo
Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III 2019

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement