REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menuturkan, pemerintah harus bisa mengelaborasikan dua pendekatan untuk mengatasi pertumbuhan konsumsi domestik yang melambat. Pendekatan tersebut adalah meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi beban biaya hidup masyarakat.
Tauhid menjelaskan, mempertahankan daya beli masyarakat menjadi kunci utama untuk memperbaiki konsumsi masyarakat yang terus melambat. "Dua pendekatan yang disebutkan tadi dapat mencapai kunci ini," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (5/2).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan pengeluaran konsumsi domestik rumah tangga pada kuartal keempat 2019 sebesar 4,97 persen (year on year/ yoy). Angka ini merupakan laju terlambat sepanjang tahun. Sementara itu, sepanjang 2019, pertumbuhannya adalah 5,04 persen, melambat dibandingkan 2018, 5,05 persen.
Tauhid menilai, sejauh ini, pemerintah belum dapat mengelaborasikan dua pendekatan tersebut. Bahkan, melihat berbagai kebijakan yang dikeluarkan saat ini, pemerintah justru berpotensi menambah biaya hidup masyarakat. Di antaranya dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri, kenaikan cukai rokok hingga rencana mengubah skema subsidi gas melon.
Di sisi lain, pemerintah belum dapat memaksimalkan penciptaan lapangan kerja untuk masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Dampaknya, Tauhid mengatakan, daya beli semakin tertekan di tengah inflasi barang-barang pokok dan kebutuhan lain.
Tauhid menganjurkan, pemerintah harus menyediakan solusi dari dua arah. Untuk pendekatan pertama mengenai biaya hidup, pemerintah sebaiknya mengkaji ulang kebijakan yang bersifat menamba beban masyarakat. "Misal, perubahan skema subsidi gas melon, ditunda dulu sampai ekonomi bisa rebound kembali," ujarnya.
Upaya tersebut dilakukan sejalan dengan menciptakan lapangan kerja dan memastikan perlindungan di sektor tenaga kerja formal ataupun informal.
Tauhid menuturkan, sebenarnya perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga belum terlampau mencemaskan karena masih terjaga di kisaran lima persen. Hanya saja, karena kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 56 persen, pertumbuhan komponen ini sangat berpengaruh ke ekonomi Indonesia secara umum.
"Otomatis, apapun yang kita lakukan untuk mendorong konsumsi akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik," tutur Tauhid.
Sementara itu, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, perlambatan konsumsi rumah tangga terjadi karena penjualan eceran yang tumbuh melamabat menjadi 1,52 persen dari 4,73 persen pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Di sisi lain, penjualan wholesale sepeda motor dan mobil penumpang masing-masing terkontraksi sebesar 5,60 persen dan 7,24 persen.
Suhariyanto menilai, perlambatan konsumsi rumah tangga patut diwaspadai sebagai titik awal penurunan daya beli masyarakat. "Tapi, kita tetap lihat nanti ke depannya dengan tetap memperhatikan komponen-komponennya yang bisa naik dan turun," tuturnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (5/2).
Dari beberapa komponen konsumsi rumah tangga, pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya mengalami laju paling lambat. Pertumbuhan sepanjang 2019 adalah 5,16 persen, sedangkan pada 2018 dapat mencapai 5,22 persen.
Tidak semata daya beli, Suhariyanto menyebutkan, perlambatan pada komponen konsumsi rumah tangga juga dipengaruhi pergeseran tren gaya hidup. "Mungkin sekarang masyarakat tidak lagi mengganti (re: membeli) baju sesering dulu," katanya.