REPUBLIKA.CO.ID, Konsistensi dan Integritas Imam an-Nawawi tercatat secara apik dalam sejarah Islam klasik.
Pemilik nama lengkap Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Sharaf al-Nawawi, yang lahir di Nawa dekat kota Damaskus pada 631 H (1234 M).
Kisah mencolok itu antara lain adalah kisah saat Sultan al-Malik al-Zhahir yang berkuasa di pertengahan abad VII Hijriyah meminta seluruh ulama Syam baik dari Suriah, Libanon, Yordania sampai Palestina datang membahas pembiayaan perang melawan pasukan Tartar yang telah menghancurkan Baghdad.
Sultan al-Zhahir meminta kepada para ulama ini untuk membuat fatwa yang membolehkan negara mengambil harta kekayaan rakyat untuk pembiayaan perang yang tidak sedikit.
Para ulama ini dengan cepat berhasil merumuskan fatwa tersebut, yang ditulis dan ditandatangani ulama Syam. Tetapi Sultan al-Zhahir tidak puas, karena dari para ulama yang hadir tidak terlihat Imam Nawawi. Hal ini memicu keraguan keterwakilan seluruh ulama.
Maka Sultan al-Zhahir bertanya, “Adakah ulama lain yang tidak hadir di sini?” Maka salah seorang ulama menjawab, “Ada, Muhyiddin al-Nawawi yang tidak terlihat di sini.”
Sultan kemudian mengutus bawahannya untuk mengundang Imam Nawawi ke istananya di Damaskus. Di balairung kerajaan, setelah mengucapkan selamat datang dan terima kasihnya atas kedatangan Imam Nawawi, Sultan kemudian mengemukakan bahwa telah disepakati fatwa dari sejumlah ulama yang menyetujui pembiayaan perang dengan harta dari rakyat.
Sultan kemudian meminta dukungan atas fatwa tersebut dari Imam Nawawi, agar lebih kuat lagi. Imam Nawawi yang waktu itu berusia 40 tahun menjawab, “Sultan yang mulia, kami mohon maaf, apabila kami tidak dapat memenuhi permintaan ini.” Sultan sangat terkejut dengan jawaban itu, kemudian bertanya,” Mengapa Anda berkata demikian?”
Sultan yang merasa sudah bersusah payah menyambut Imam Nawawi di tangga bawah istananya itu betul-betul tidak menyangka jawaban Imam Nawawi demikian.
Imam Nawawi menjawab, “Mohon maaf jika Sultan kurang berkenan dengan penjelasan saya ini. Saya mendengar Tuanku memiliki seribu orang hamba sahaya yang masing-masing mempunyai beberapa kantong emas. Andaikata Tuanku mengambil perhiasan emas dari dua ratus orang saja dari hamba-hamba sahaya wanita milik Tuanku untuk keperluan perang, maka saya bersedia memberi fatwa untuk membenarkan Tuanku mengambil harta rakyat sebagai tambahan jika ada kekurangan dari keuangan negara.”
Sultan terdiam mendengar penjelasan Imam Nawawi, yang intinya adalah lakukan dulu pembiayaan dari negara dan dari kekayaan istana sebelum menguras harta rakyat. Bukan harta rakyat dulu yang dikuras dan sama sekali tidak menyentuh harta milik istana.
Tetapi kritik ini tentu sangat menyakitkan hati Sultan. Maka Sultan Malik al-Zhahir langsung marah dan mengusir Imam Nawawi supaya keluar dari wilayah Damaskus.
Imam Nawawi sudah menduga hal ini, maka dengan tenang dia keluar dan bersedia menerima dan melaksanakan perintah Sultan. Kemudian Imam Nawawi pulang dan memindahkan pesantren pengajiannya ke luar wilayah Damaskus, yaitu ke Nawa tempat kelahirannya.