REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedudukan lembaga intelijen bagi sebuah negara adalah perkara yang mutlak diperlukan. Hampir semua negara modern dipastikan mempunyai badan intelijen. Keberadaannya tidak hanya diperuntukkan untuk mendukung keamanan suatu negara, tetapi juga memperkuat kemiliteran.
Ternyata, peradaban Islam juga mempunyai tradisi kuat intelijen. Ketika Rasulullah SAW berhasil mendirikan institusi Islam (Daulah Islamiyah) yang pertama di Madinah, beliau telah memperkuat militernya yang dilengkapi dengan satuan tajassus/mata-mata atau semacam badan intelijen.
Di dalam sirah Ibnu Hisyam diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengutus Abdullah ibn Jahsy beserta kelompok yang terdiri dari delapan orang dari kalangan Muhajirin.
Beliau menulis surat untuknya dan memerintahkannya untuk tidak membaca isinya hingga berjalan selama dua hari. Dia diperintahkan untuk melakukan apa yang ada di dalamnya, sedangkan yang lainnya tidak boleh dipaksa untuk melakukannya.
Dia pun menuruti apa yang diperintahkan Nabi SAW itu. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, surat Rasul tersebut dibuka. Di sana tertulis, ''Bila engkau membaca suratku ini, maka teruslah berjalan hingga mencapai suatu tempat antara Makkah dan Thaif. Di sana amatilah gerak-gerik kaum Quraisy dan carilah berita tentang mereka untukku.''
Dalam surat tersebut Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abdullah ibn Jahsy untuk melakukan kegiatan tajassus 'mata-mata' terhadap kaum Quraisy serta memberinya informasi tentang kaum Quraisy.
Namun, beliau memberi pilihan kepada sahabat-sahabat lainnya untuk menyertainya atau tidak. Hal ini menunjukan bahwa Rasulullah SAW meminta kepada semua sahabat untuk melakukan mata-mata, tetapi bagi Abdullah ibn Jahsy adalah wajib, sedangkan bagi sahabat lainnya boleh memilih.