REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Rissalwan Habdy Lubis mengatakan proses deradikalisasi orang-orang yang pernah bergabung dengan kelompok radikal perlu mempertimbangkan berbagai aspek seperti psikologis dan sosial. Hal ini merespons wacana untuk memulangkan WNI yang berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok ISIS.
"Yang namanya radikalisasi itu sebetulnya adalah suatu proses pembiasaan. Jadi kalau orang dikembalikan ke suatu lingkungan yang lain dia akan menjadi orang lain. Prinsipnya seperti itu dan belum tentu kalau orang di suatu lingkungan dia akan otomatis berubah jadi ada aspek psikologis dan sosial," kata akademisi Universitas Indonesia itu ketika dihubungi di Jakarta pada Senin (10/2).
Setelah wilayah kekuasaan kelompok teroris itu berhasil dipersempit, warga negara asing yang sempat bergabung dengan kelompok itu lalu ditempatkan di beberapa kamp di Irak dan Suriah. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), berdasarkan informasi yang mereka dapatkan dari komunitas internasional dan saluran intelijen ada sekitar 600 orang yang mengaku sebagai WNI, meski belum terverifikasi.
Menurut Rissalwan, wacana tersebut jika dilakukan perlu ada profilisasi atau memprioritaskan pihak-pihak yang terbawa atau terpaksa pergi seperti anak-anak. "Bisa jadi dalam satu keluarga, katakanlah orang jahatnya satu dan dia sudah dipenjara. Sebenarnya yang jadi catatan saya yang perlu direhabilitasi adalah orang-orang yang terbawa ke dalam situasi yang sebenarnya tidak mereka inginkan," kata dia.
Pemerintah belum mengambil keputusan apapun terkait wacana tersebut. Menurut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin, perlu kecermatan dalam memandang persoalan tersebut karena terdapat berbagai aspek yang harus dilihat.
Kendati demikian, Menkopolhukam Mahfud MD secara pribadi mengaku tidak setuju dengan pemulangan WNI yang pernah menjadi anggota ISIS.