REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara tersangka kasus Jiwasraya Benny Tjokrosaputro, Muchtar Arifin menegaskan kliennya tidak pernah menjual saham PT Hanson Internasional Tbk (MYRX) ke PT Asursansi Jiwasraya. Muchtar juga mengatakan, Benny tak pernah bertemu dengan pihak dan petinggi perusahaan asuransi milik negara tersebut, untuk menawarkan pembelian saham.
Muchtar mengatakan perusahaan milik Benny, adalah swasta yang melantai di bursa efek. Sebagai perusahaan yang terbuka, pihak manapun dapat membeli dan memiliki saham MYRX. "Segala sesuatunya itu bisa dilacak dari mana Jiwasraya itu memperoleh saham. Bagaimana membelinya. Ada banyak manajer investasi di situ. Tetapi Pak Benny, nggak pernah menjual ke Jiwasraya," katanya di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejakgung, Jakarta, Senin (10/2).
Muchtar mendatangi penyidik Pidsus Kejakgung untuk mendampingi kliennya Benny. Ini menjadi pemeriksaan pertama Benny di Gedung Pidsus Kejakgung sejak ditetapkan menjadi tersangka, pada Selasa (14/1). Sejak menjadi tersangka, Kejakgung menitipkan Benny di Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (Rutan KPK). Tercatat tiga kali pemeriksaan terhadap Benny, dilakukan di Gedung KPK.
Benny, merupakan Komisaris Utama PT Hanson yang dituding menjadi salah satu penyebab Jiwasraya mengalami kebangkrutan akibat gagal bayar. Perusahaan berkode bursa MYRX tersebut, disebut ikut menerima dana pengalihan penjualan produk asuransi Saving Plan milik nasabah Jiwasraya. Akan tetapi, saham tersebut dianggap buruk dan membuat Jiwasraya mengalami kerugian.
Akan tetapi, Muchtar menerangkan, kliennya tak pernah menawarkan apapun kepada Jiwasraya agar membeli saham MYRX. Benny pun kata Muchtar, tak pernah bertemu dengan para pejabat BUMN asuransi untuk menawarkan penjualan saham MYRX.
"Itu enggak pernah. Sekalipun enggak pernah, Benny enggak pernah juga bertemu dengan direksi manapun, dengan siapapun dari Jiwasraya," ucapnya.
Jiwasraya mengalami gagal bayar senilai Rp 13,7 triliun per September 2018. Audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pun mengatakan, kondisi tersebut membuat Jiwasraya mengalami defisit pencadangan keuangan sebesar Rp 27,2 triliun. Menurut BPK kondisi keuangan yang memburuk di Jiwasraya, akibat aksi korporasi yang menyimpang. Terutama dalam pengalihan dana nasabah ke dalam sejumlah saham dan reksadana yang berkualitas buruk.
Terkait penjualan saham yang merugikan tersebut, Direktur Penyidikan Pidsus Febri Adriansyah menerangkan, Joko Hartono Tirto dari PT Maxima Integra (MIG) adalah salah satu manajemen investasi yang menawarkan penjualan saham MYRX ke Jiwasraya. Ada lima emiten yang ditawarkan Joko Tirto kepada Jiwasraya, yaitu MYRX, TRAM, IIKP, SMLU, dan LGJP.
"Ternyata saham-saham itu bermasalah," ucap Febri.
Joko Tirto, baru ditetapkan tersangka oleh Kejakgung, pada Kamis (6/2). Febri menerangkan, Joko Tirto adalah orang suruhan tersangka lain dari PT Trada Alam Minera (TRAM) yang menawarkan pengalihan dana Jiwasraya ke dalam saham lima emiten tersebut.
"Dia (Joko Tirto) ini adalah orangnya HH (Heru Hidayat). Dia itulah yang melakukan pemutaran-pemutaran saham. Goreng sampi tinggi, kemudian dibeli oleh AJS (Jiwasraya)," jelas Febri.
Peran Joko Tirto, pun kata Febri terlacak dari sejumlah pengusutan transaksi jual beli saham yang bermasalah. Jual beli tersebut, berimbas kepada Jiwasraya. Joko Tirto, pun penyidik yakini menjual saham sejumlah perusahaan kepada Jiwasraya lewat proses lobi. Febri mengatakan, ada pertemuan antara Joko Tirto dengan mantan Direktur Keuangan dan Investasi Jiwasraya Harry Prasetyo untuk membahas soal pembelian saham-saham bermasalah tersebut.
Harry Prasetyo, pun sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Hari Setiyono mengatakan, pertemuan antara Joko Tirto, dan Harry Prasetyo juga menyertakan dua tersangka lain, yakni mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, dan Kepala Divisi Investasi Jiwasraya Syahmirwan.
"Dalam pertemuan itu, membicarakan tentang bagaimana menyelamatkan keuangan Jiwasraya," ujar Hari.