REPUBLIKA.CO.ID, KABUL - Sebanyak enam orang meninggal dalam serangan bunuh diri di Akademi Militer Marsekal Fahim, Kabul, Afganistan pada Selasa (11/2) waktu setempat. Serangan ini diklaim yang terbesar dalam beberapa bulan belakangan yang menargetkan akademi militer.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Afghanistan Nasrat Rahimi mengatakan korban terbunuh terdiri dari dua warga sipil dan empat personel militer. Sebanyak 12 orang lainnya mengalami luka, termasuk lima warga sipil.
"Itu adalah ledakan besar yang mengguncang rumah kami. Kami juga mendengar suara tembakan sesudahnya. Ambulans bergegas ke daerah itu dengan cepat," kata seorang warga Samiullah dikutip Aljazirah, Selasa (11/2).
Sumber keamanan yang berbicara dengan syarat tak menyebutkan jati dirinya mengatakan bahwa penyerang berjalan kaki ke target sebuah kendaraan di dekat pos pemeriksaan ketika memasuki akademi. Akademi militer itu dikenal sebagai "Sandhurst di Pasir" mengacu pada sekolah terkenal Inggris.
Akademi militer tersebut telah menjadi tempat beberapa serangan di masa lalu, termasuk serangan yang diklaim ISIS Mei tahun lalu yang menewaskan enam orang. Kendati demikian, serangan kali ini belum ada yang mengklaim bertanggung jawab. Serangan ini terjadi setelah hampir tiga bulan wilayah Kabul relatif tenang.
Ledakan ini juga terjadi ketika Washington dan Taliban berselisih sebab kesepakatan yang akan membuat pasukan Amerika Serikat (AS) mulai meninggalkan Afganistan dengan imbalan jaminan keamanan dari kelompok bersenjata Afganistan. Taliban menahan diri untuk tidak menyerang pusat-pusat kota besar meskipun kekerasan di sejumlah provinsi terus terjadi sehingga membawa serangan yang kerap terjadi pada pasukan keamanan Afghanistan dan AS.
Serangan besar terakhir di ibu kota terjadi pada November 2019 ketika setidaknya 12 orang tewas oleh sebuah minivan yang penuh dengan bahan peledak. Ledakan menargetkan konvoi perusahaan keamanan asing selama jam sibuk pagi hari di Kabul. Hingga kini, Taliban mengendalikan atau menguasai hampir setengah dari Afganistan dan berada pada posisi terkuat mereka sejak invasi AS 2001 yang menggulingkan kelompok bersenjata itu.
AS dan Taliban telah bernegosiasi selama setahun dan berada di ambang kesepakatan pada September 2019 ketika Presiden Donald Trump tiba-tiba menyatakan proses itu tak berjalan. Pembicaraan kemudian dimulai kembali pada Desember di Qatar tetapi berhenti lagi setelah serangan di dekat pangkalan militer Bagram yang dikelola AS di Afganistan.
Ketika pembicaraan berfluktuasi, serangan-serangan kekerasan di negara itu berkecamuk. Menurut laporan pengawas pemerintah AS baru-baru ini, jumlah bentrokan melonjak ke tingkat rekor pada kuartal terakhir 2019.