REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini menilai, penolakan pemulangan mantan anggota ISIS telah sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentabg Kewarganegaraan RI. Pasal 23 ayat d UU tersebut menyatakan bahwa WNI kehilangan kewarganegaraannya jika masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden.
Bunyi pasal tersebut menjadi dasar bagi PBNU dalam menyampaikan penolakannya terkait wacana kepulangan mantan anggota ISIS, karena ISIS dinilai gerakan asing yang bertentangan dengan pandangan atau ideologi politik bangsa Indonesia. "Dari pendekatan itu saja sebetulnya sudah jelas, sudah bisa menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk menolak pemulangan mantan anggota ISIS," kata Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini di Jakarta, Selasa (11/2).
Mantan anggota ISIS juga dianggap telah mengabaikan konstitusi negara dan dengan kemauan sendiri telah melepaskan kewarganegaraan mereka. "Mereka sudah membakar paspor, bahkan mereka atas nama agama telah melakukan aksi-aksi yang di luar batas kemanusiaan seperti pembunuhan dan pemerkosaan," ujarnya.
Menurut PBNU, kepulangan mantan anggota ISIS justru akan mengganggu ketenangan dan keamanan 260 juta penduduk Indonesia, sehingga wacana ini harus betul-betul dipertimbangkan oleh pemerintah. Sebelumnya, muncul wacana untuk mengembalikan WNI yang pernah bergabung dengan ISIS dan sekarang tinggal di kamp-kamp penampungan yang di Suriah.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), berdasarkan informasi yang mereka dapatkan dari komunitas internasional dan saluran intelijen, ada sekitar 600 orang yang mengaku sebagai WNI, meski belum terverifikasi. Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum menentukan sikap terkait wacana pemulangan itu meski sejumlah pihak seperti Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bahkan Presiden Joko Widodo mengatakan secara pribadi menolak wacana tersebut.