REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Palestina Mahmoud Abbas menegaskan penolakan terhadap rencana perdamaian Timur Tengah yang disusun Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Rencana itu dinilai telah melanggar legitimasi internasional dan inisiatif perdamaian Arab.
"Rencana ini mencabut hak-hak warga Palestina, hak kami untuk menentukan nasib sendiri, bebas, dan merdeka, di negara kami sendiri," kata Abbas saat berbicara di Dewan Keamanan PBB pada Selasa (11/2) dikutip laman Aljazirah.
Abbas menilai, rencana perdamaian Trump telah mengesahkan apa yang ilegal. Pernyataannya mengacu pada permukiman Israel di wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Pada kesempatan itu, Abbas pun menegaskan bahwa penolakan terhadap rencana perdamaian Trump tak hanya disuarakan negaranya. Liga Arab, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Uni Afrika, dan Uni Eropa juga bersikap sama seperti Palestina.
Kendati demikian, Abbas berpendapat perdamaian antara Israel dan Palestina masih memungkinkan dan bisa dicapai. "Kami masih berkomitmen untuk perdamaian sebagai pilihan strategis," ujarnya.
"Saya siap memulai negosiasi karena saya selalu siap, jika kita memiliki mitra di Israel yang siap untuk perdamaian, siap untuk bernegosiasi di bawah sponsor kuartet internasional dan berdasarkan parameter yang disepakati secara internasional," kata Abbas dikutip Anadolu Agency.
Sebelumnya Abbas memang kerap menyerukan agar proses perdamaian Israel-Palestina melibatkan kuartet internasional, yakni AS, Rusia, PBB, dan Uni Eropa. Dia pun mengusulkan keterlibatan beberapa negara Arab.
Rencana perdamaian Timur Tengah yang dirilis Trump pada 28 Januari lalu menuai banyak kritik dan protes. Dalam rencana tersebut, sangat tampak keberpihakan Trump terhadap kepentingan politik Israel terkait penyelesaian konflik dengan Palestina.
Trump menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tak terbagi. Ia pun mengakui pendudukan Israel atas sebagian wilayah Tepi Barat dan Lembah Yordan.
Dengan rencana tersebut, posisi Palestina kian tersisih. Ia tak bisa lagi mengharapkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan negaranya.
Teritorial yang diinginkan Palestina, yakni berdasarkan garis perbatasan 1967, juga buyar. Sebab Israel telah mencaplok sebagian Tepi Barat dan Lembah Yordan.