Rabu 12 Feb 2020 15:48 WIB

Petani Minta Kuota Impor Gula Dihitung Matang

APTRI menyarankan impor gula dalam bentuk gula yang siap dikonsumsi masyarakat.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Gula impor
Foto: Antara
Gula impor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) meminta pemerintah bersama Asosiasi Gula Indonesia (AGI) untuk menghitung secara matang kebutuhan impor untuk gula konsumsi. Pasalnya, volume impor yang melebihi kebutuhan dipastikan akan menekan harga gula di tingkat petani.

Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikoen, mengatakan, impor gula juga diharapkan dalam bentuk gula yang siap dikonsumsi masyarakat. Bukan raw sugar yang harus diolah terlebih dahulu oleh pabrikan di dalam negeri. Soemitro mengatakan, hal itu agar pabrik gula yang ada bisa fokus untuk mengolah tebu lokal.

Baca Juga

"Untuk gula konsumsi kalau mau impor, imporlah secukupnya. Jangan raw sugar, tapi langsung gula konsumsi. Volume impor harus sesuai dengan yang dibutuhkan," kata Soemitro saat dihubungi, Rabu (12/2).

Soemitro menegaskan, pemerintah harus lebih fokus untuk mendorong produktivitias tebu rakyat dan kapasitas giling tebu oleh perusahaan pabrik gula. Tanpa ada keberpihakan pada petani, iklim usaha tebu rakyat tidak akan berkembang dan sulit bagi Indonesia untuk menuju swasembada gula.

"Gairah petani harus dijaga kita akan tidak semangat kalau banyak impor dan akhirnya produksi dalam negeri turun setiap tahun," kata Soemitro menambahkan.

Di sisi lain, APTRI pun mengharapkan agar pemerintah bisa menaikkan harga acuan gula di tingkat petani. Saat ini harga acuan sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018, harga acuan gula di tingkat petani sebesar Rp 9.100 per kilogram. Soemitro mengharapkan agar ada kenaikan harga acuan bisa naik ke Rp 12.000 per kilogram.

Ia menjelaskan, tingginya keinginan harga gula di tingkat petani lantaran tingkat rendemen tebu menjadi gula yang masih sekitar 5-6 persen. Berbeda dengan negara produsen gula terbesar di dunia seperti Thailand, India, dan Australia yang bisa mencapai 12 persen.

"Jangan kita disuruh jual dengan harga sama seperti di negara lain yang rendemennya lebih tinggi," kata Soemitro.

Asosiasi Gula Indonesia (AGI) memperkirakan akan terjadi defisit neraca gula kristal putih (GKP) ada tahun 2020. Hal itu berdasarkan proyeksi penurunan produksi gula selama setahun ke depan. Diperlukan tambahan impor gula untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Direktur Eksekutif AGI, Budi Hidayat, mengatakan, produksi gula tahun 2020 diperkirakan hanya mencapai 2,05 juta ton. Selain itu terdapat sisa stok 2019 yang menjadi stok awal 2020 sebanyak 1,08 juta ton sehingga total ketersediaan gula tahun ini sebanyak 3,13 juta ton.

Adapun kebutuhan gula konsumsi tahun 2020 mencapai 3,16 juta ton sehingga terdapat defisit sekitar 29 ribu ton. "Untuk pemenuhan kebutuhan tahun 2020 sekaligus sebagai persiapan awal 2021 maka diperlukan impor gula untuk konsumsi langsung," kata Budi dalam Sugar Outlook 2020 di Jakarta, Rabu (12/2).

Berdasarkan hitungan AGI setidaknya dibutuhkan impor gula konsumsi sebanyak 1,33 juta ton. Kebutuhan itu selain untuk menutupi defisit 2020 sekaligus sebagai persediaan awal tahun 2021. Apalagi, diproyeksikan produktivitas gula tahun ini diperkirakan turun sekitar 10 persen imbas kemarau panjang tahun 2018-2019.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement