REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor meminta Pemkot Bogor harus memberikan perhatian khusus untuk menangani permasalahan perceraian. Meskipun telah memiliki program Sekolah Ibu, Pemkot Bogor harus memiliki capaian yang jelas.
"Sekolah itu positif bagi siapa saja, namun kalau bicara mengenai Sekolah Ibu maka seharusnya yang lebih ditekankan adalah bagaimana cara meningkatkan ekonomi keluarga," kata Anggota Komisi IV DPRD Kota Bogor Devie P Sultani kepada Republika, Rabu (12/2).
Devie mempertanyakan hasil yang didapatkan setelah mengikuti Sekolah Ibu. Ini karena angka perceraian di Kota Bogor masih relatif tinggi yang ditengarai faktor ekonomi keluarga.
"Kami kurang mengetahui kurikulumnya seperti apa? Maka seharusnya Sekolah Ibu itu harus menjadikan ekonomi keluarga itu meningkat," ungkap dia.
Devie menjelaskan Pemkot Bogor telah menganggarkan pembiayaan untuk Sekolah Ibu dalam APBD Kota Bogor 2020 yang masuk dalam anggaran Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perlindungan Perempuan dan Anak (DPMPPA). Karena itu, dia meminta anggaran tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik.
"Maka diharapkan penggunaan APBD ini di pergunakan sebaik-sebaiknya dan khususnya bagi sekolah ini mampu membangun kreativitas ekonomi dalam hal peningkatan ekonomi bagi keluarga," jelasnya.
Ke depan, politikus Nasdem itu meminta Sekolah Ibu memprogramkan peningkatan ekonomi keluarga. Dengan demikian, hasil dari sekolah tersebut memiliki dampak terhadap perekonomian keluarga.
"Harus dimasukkan juga materi bagaimana cara meningkatakn ekonomi keluarga untuk ikut membantu suami dalam menjalankan roda kehidupan dan suami makin sayang. Kalau ini sudah terjadi makan pasti tingkat perceraian bisa berkurang," kata dia.
Kasus perceraian di Kota Bogor terbilang masih cukup tinggi yakni mencapai 1.746 pengajuan sepanjang 2019. Pengadilan Agama Bogor Kelas 1A mencatat sebanyak 1.354 istri menggugat cerai suami atau cerai gugat. Sedangkan sebanyak 392 suami menggugat cerai istri atau cerai talak.
"Dari sekian gugatan cerai 60 persen karena masalah ekonomi," kata Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Bogor Klas IA, Agus Yuspiain.