Kamis 13 Feb 2020 11:46 WIB

Penjelasan Kepala BPIP Soal Pancasila Dibunuh Administratif

Kepala BPIP menyebut pancasila dibunuh secara adimistratif.

Rep: Ali Mansur/ Red: Muhammad Hafil
Penjelasan Kepala BPIP soal Pancasila Dibunuh Administratif. Foto: Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi (kedua kiri) dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh (kanan) membacakan sumpah saat dilantik di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Penjelasan Kepala BPIP soal Pancasila Dibunuh Administratif. Foto: Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi (kedua kiri) dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh (kanan) membacakan sumpah saat dilantik di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak hanya pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Profesor Yudian Wahyudi soal Pancasila dan agama yang menyulut kontroversi. Namun juga pendapatnya mengenai Pancasila telah dibunuh secara administratif. Padahal Pancasila merupakan konsensus tertingi bangsa Indonesia yang harus dijaga.

"Yang saya maksudnya begini, setelah orde baru kalah itu reformasi, maka hak-hak organisasi asas tunggal pancasila itu menjadi Pancasila atau, boleh milih selain Pancasila. itu saya katakan disitulah Pancasila itu secara administratif telah dibunuh," jelas Yudin saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (12/2).

Baca Juga

Lebih lanjut, kata Yudian, karena Pancasila seperti tidak penting lagi. Oleh karena itu, semuanya berkewajiban untuk mengembalikan. Hanya saja, ada kesan yang dibunuh itu adalah kebebasan berorganisasi padahal tidak. Jadi Pancasila itu dibunuh secara adiministratif karena sudah tidak lagi menjadi pegangan tunggal.

"Karena ini kan hasil konsensus, yang namanya konsesus itu hukum Tuhan tertinggi yang mengatur kehidupan sosial politik. Konsensusnya apa? ya Pancasila ini yang tertinggi," tambahnya.

Oleh karena itu, Yudian menyampaikan setiap penafsiran yang melawan konsensus itu pasti kalah. Bahkan hal itu sudah seperti hukum di mana saja. Maka kalau ada kelompok tertentu menafsirkan agama tertentu dibenturkan dengan konsensus nasional itu pasti kalah.

"Ini orang tidak paham ushul fiqh kalau bahasa lainnya. Ini ushul fiqh simpel sekali, kalau bahasa lain rahmat itu kalau tidak dikelolah dengan baik bisa menjadi laknat itu gampang saja, di kampung-kampung saja bisa paham," tutup Yudian.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement