REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Pemerintah Provinsi Sumatra Utara (Sumut) mencatat hingga Kamis (13/2) sebanyak 48 ribu ekor babi mati akibat virus hog cholera dan African Swine Fever (ASF). Gubernur Sumut Edy Rahmayadi mengatakan kasus kematian ribuan ekor babi ini berdampak besar terhadap ekonomi, khususnya bagi para peternak babi.
"Tak hanya dilanda kerugian karena kematian babi, peternak juga dihadapkan dengan kondisi anjloknya harga jual daging babi," katanya dalam rapat dengar pendapat terkait persoalan babi di Sumut di kantor DPRD Sumut, Kamis.
Berdasarkan hitungan, setiap kematian satu ekor babi maka peternak mengalami kerugian hingga Rp 3 juta. "Kondisi perekonomian para peternak sangat buruk. Kalau babinya mati, maka sudah pasti mereka rugi. Namun, babi yang tidak mati juga mereka rugi karena harga jual babi di pasar turun karena wabah ASF," ujarnya.
Ia menyebutkan, saat ini terus mencari solusi mengatasi wabah ASF. Salah satu langkah yang akan dilakukan pemerintah adalah mengajak peternak beralih berternak hewan lain.
"Kalau itu memang tidak dipolitisasi, kita akan ubah sementara ke binatang lain yang tidak terkena virus ASF," ujarnya.
Ia juga menegaskan Pemprov Sumut tidak akan mengambil kebijakan pemusnahan babi karena membutuhkan biaya besar. "Jumlah babi di Sumut saat ini mencapai 2 juta ekor. Jika langkah pemusnahan diambil, maka pemerintah harus menyiapkan ganti rugi sebesar Rp 3 juta setiap ekor babi. Kalau itu sampai terjadi, maka biaya ganti rugi babi ini mencapai Rp 6 triliun," ujarnya.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut Ketua DPRD Sumut Baskami Ginting, Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Martuani Sormin dan Kepala Kejati Sumut Amirianto.