REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Selatan (BKSDA Sumsel) mengusulkan pembentukan tim penanganan konflik satwa-manusia di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tim ini untuk memudahkan koordinasi pencegahan dan penanganan konflik satwa dengan manusia.
"Tim koordinasi itu untuk tingkat provinsi, sedangkan di kabupaten/kota namanya tim satgas, merekalah yang mengeksekusi kebijakan dari tim koordinasi," kata Kepala BKSDA Sumsel Genman Suhefti Hasibuan di Palembang, Kamis (13/2).
Ia menjelaskan bahwa tim koordinasi dan satuan tugas penanganan konflik satwa dengan manusia antara lain akan menyosialisasikan penyesuaian pola kegiatan pertanian dan perkebunan guna menghindari terjadinya konflik satwa dengan manusia.
"Misalnya kawanan gajah yang melalui kebun di mana kebun itu memang pakannya gajah, maka tanaman di kebun itu harus diganti dengan tanaman yang tidak disukai gajah, nah untuk mengubahnya ini butuh kebijakan pemangku kepentingan," kata Genman.
Selain itu, menurut dia, tim penanganan konflik satwa dengan manusia akan menjalankan upaya-upaya pelindungan habitat serta rehabilitasi kawasan hutan, identifikasi kawasan ekosistem esensial, patroli kebakaran hutan dan lahan, serta penegakan hukum.
BKSDA Sumsel sepanjang 2017 sampai 2019 mencatat 83 kejadian konflik manusia dengan satwa liar termasuk harimau, beruang, buaya, dan gajah. Konflik paling banyak terjadi dengan buaya (37) disusul harimau (23), gajah (13), dan beruang (10).
Di samping melakukan upaya pencegahan dan penanganan konflik antara satwa dan manusia, Genman mengatakan, tim akan mengidentifikasi populasi satwa yang selanjutnya bisa digunakan sebagai acuan dalam merancang kebijakan dan program konservasi. "Saat ini populasi harimau ada 17 ekor dan gajah 192 ekor tersebar di Sumsel," katanya.