Kamis 13 Feb 2020 20:36 WIB

Anak Punk: Jangan Lihat Kami Hanya dari Penampilan

Penertiban anak punk yang sedang direncanakan sejumlah pihak di Tasikmalaya.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Muhammad Fakhruddin
Dandim 0612 Letkol Inf Imam Wicaksana melakukan pertemuan dengan Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto, untuk membahas penanganan anak punk di Tasikmalaya, Kamis (13/2).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Dandim 0612 Letkol Inf Imam Wicaksana melakukan pertemuan dengan Ketua KPAID Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto, untuk membahas penanganan anak punk di Tasikmalaya, Kamis (13/2).

REPUBLIKA.CO.ID,TASIKMALAYA -- Sejumlah instansi di Tasikmalaya sedang mematangkan langkah penanganan anak jalanan yang diidentifikasi sebagai "anak punk" di daerah itu. Keberadaan anak punk di Tasikmalaya dinilai mulai meresahkan dan berpotensi menimbulkan masalah lainnya. 

Berdasarkan pantauan Republika, keberadaan anak punk di Tasikmalaya banyak ditemukan di pusat-pusat keramaian, seperti taman, wilayah pertokoan, dan jalanan. Banyak di antara mereka yang terlihat mengamen dari satu tempat ke tempat lain, atau menetap menjual suara dan nada gitarnya di sekitar lampu merah. 

Seperti sejumlah anak punk yang ditemui di salah satu persimpangan lampu merah di Kota Tasikmalaya, pada Kamis (13/2) sore. Beberapa di antaranya terlihat sedang mengamen di antara kendaraan yang berhenti menanti lampu merah kembali berwarna hijau. Sementara yang lainnya hanya "nongkrong" di pinggir jalan. 

Jika dilihat dari tampilan luar, gaya anak-anak itu memang tak seperti orang normal, dengan kemeja atau celana berbahan modal untuk berangkat kerja. Anak-anak itu terlihat kumal, dengan kaos seperti tak dicuci berhari-hari dan celana jins sobek. Ada yang menggunakan sendal jepit, ada pula yang menggunakan sepatu.

Salah satu di antara anak-anak yang mengamen di tempat itu, Dede (22 tahun) mengaku sudah kenyang dengan anggapan masyarakat umum tentang anak punk yang selalu negatif. Tak hanya disebut itu, ia juga sadar masyarakat umum menilai kelakuan dengan tindakan kriminal. Namun, ia tak peduli. Menurut dia, selama keberadaannya tak merugikan orang lain, orang bebas untuk mengatakan apapun.

Kendati begitu, ia tak setuju dengan anggapan orang banyak bahwa anak punk selalu dekat dengan kriminalitas. Menurut dia, kehidupan anak punk di jalanan itu hanya mencari makan dengan cara mengamen.

"Memang tampang kelihatan kriminalitas. Tapi jangan pandang sebelah mata. Mana ada punk nodong? Kita sopan kalau mengamen," kata lelaki dengan tato di kedua lengan dan anting di kedua kupingnya itu kepada Republika.

Dede mengaku sudah belasan tahun turun ke jalan. Sejak keluar dari sekolah dasar, ia memutuskan menjadi anak jalanan mengikuti kakaknya. Ia tak mengingat betul alasan memilih jalanan sebagai jalan hidupnya. Yang pasti, ia memiliki masalah dengan rumah.

Menurut dia, tak mungkin ada anak yang baik-baik saja di rumah memilih turun ke jalanan dan mencari makan sendiri. "Di rumah makan semua disediain. Kalau gak ada masalah, tidak akan ke jalan," kata laki-laki asal Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya itu.

Ia menganggap, hidup di jalanan memberikan kenyamanan dan kebebasan bagi anak-anak yang memiliki masalah di rumah. Namun, sebebas-bebasnya, kelompoknya mengklaim tak pernah berbuat kriminal.

Dede mengetahui kabar tentang penertiban anak punk yang sedang direncanakan sejumlah pihak di Tasikmalaya. Menurut dia, langkah itu percuma. Sebab, ia merasa tak bersalah, sehingga tak perlu ditertibkan. 

"Kita kan tidak mencuri, tidak menodong, untuk apa ditertibkan? Kita juga gak pakai narkoba, hanya minum tuak paling," kata dia. Dari mulutnya memang sedikit tercium aroma alkohol. Namun, ia terlihat sadar ketika berbicara dengan Republika.

Tak hanya Dede yang menolak anak punk dianggap sebagai kriminal. Aray (17) yang juga salah satu di antara mereka pun tak setuju dengan label kriminal yang dengan sembarangan disematkan kepada anak punk.

"Enggak setuju (dianggap kiriminal dan harus ditertibkan). Kita ngamen doang, gak maksa,  gak mencuri," kata laki-laki dengan lobang di daun telinganya yang sebesar uang logam itu.

Ia mengaku menjadi anak jalanan sejak keluar dari SD saat masih duduk di kelas III. Ia tak nyaman dengan aturan di sekolahnya karena terlalu ketat. Karena itu, ia memilih jalanan sebab dianggap lebih bebas. 

Setelah merasakan hidup di jalanan, ia pun merasakan kenyamanan. Aray juga mendapat banyak teman dari pergaulannya di jalanan.

Ia mengaku, orang tuanya mengetahui keberadaannya saat ini. Namun, orang tuanya tak pernah mempermasalahkan soal itu. Ia pun tak memiliki niat kembali ke rumahnya dalam waktu dekat.

"Saya suka di jalan. Yang penting mah gak berbuat kriminal," kata dia.

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement