REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai keputusan pemerintah tidak memulangkan WNI eks ISIS, merupakan keputusan yang terburu-buru. YLBHI mengatakan, seharusnya pemerintah melakukan pemilahan derajat keterlibatan WNI eks ISIS.
"Terburu-buru, tadinya awalnya mereka berpendapat setengah tahun baru ada putusan. Artinya, mereka mau melakukan tindakan-tindakan, sekarang di-by pass prosesnya," kata Ketua Umum YLBHI, Asfinawati di Jakarta, Kamis (13/2).
Menurutnya, pemerintah harus menentukan suatu kebijakan yang berbasis data, seperti jumlah persis keberadaan eks ISIS dari kalangan perempuan dan anak-anak tersebut hingga motivasi mereka. Ia mengatakan pemerintah saat ini terkesan menempatkan mereka semua dalam posisi yang sama, padahal motivasi mereka bisa saja berbeda.
"Semua diposisikan sama. Padahal, ada yang hanya ikut orangtua, istri ikut suami, ada yang betul-betul mau perang, ada yang menganggap akan dapat pekerjaan di sana," katanya.
Menurutnya, WNI eks ISIS perlu dipilah berdasarkan motivasi dan kondisi-kondisi tertentu, kemudian dilakukan pendekatan yang berbeda-beda juga. Asfinawati berharap pemerintah mengkaji ulang kebijakan terkait eks ISIS tersebut dengan melakukan kajian secara mendalam berbasis data.
"Harus dicari tahu bagaimana penilaian karena pasti ada juga korban salah satunya korban (diajak) orangtua, orangtuanya mungkin juga korban penipuan, dijanjikan kerja, dan sebagainya," katanya.
Pemerintah Indonesia telah memutuskan tidak akan memulangkan para WNI eks ISIS demi menjaga keamanan 260 juta warga Indonesia di Tanah Air. Pemerintah pun menyatakan berwenang untuk mencabut status kewarganegaraan para eks ISIS itu.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menjelaskan, pencabutan kewarganegaraan melalui proses hukum administrasi diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2007. Pemerintah akan mencabut kewarganegaraan para eks kombatan ISIS berdasarkan aturan tersebut.
"Menurut PP Nomor 2 tahun 2007, pencabutan itu dilakukan oleh Presiden harus melalui proses hukum, bukan pengadilan ya. Proses hukum administrasi diteliti oleh menteri, lalu ditetapkan oleh presiden," jelas Mahfud di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (13/2).
Mahfud menerangkan, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 12 tahun 2006, orang dapat kehilangan status kewarganegaraannya dengan beberapa alasan. Salah satu di antaranya, yakni orang tersebut ikut dalam kegiatan tentara asing yang diatur pada pasal 23 ayat 1 butir d.
"Jadi jangan mempertentangkan saya dengan Pak Moeldoko. Pak Moeldoko benar, (para eks ISIS) kehilangan status kewarganegaraan secara otomatis," kata dia.
Menurut Mahfud, pencabutan kewarganegaraan mereka yang pernah tergabung dalam ISIS memang harus melalui proses hukum, tapi bukan proses pengadilan. Dalam hal ini, pencabutan kewarganegaraan terhadap mereka dilakukan melalui hukum administrasi yang diatur pada Pasal 32 dan 33 PP Nomor 2 tahun 2007.
"Di pasal 32, 33, bahwa itu nanti menteri memeriksa ya, sesudah oke, serahkan presiden, presiden mengeluarkan. Itu proses hukum namanya proses hukum administasi, jadi bukan proses pengadilan," tutur dia.
Sebelumnya, Kepala Staf Presiden Moeldoko memastikan status kewarganegaraan WNI mantan teroris lintas batas yang ditolak masuk ke Indonesia menjadi stateless. Menurut Moeldoko, status kewarganegaraan mereka sudah diatur dalam perundang-undangan tentang kewarganegaraan.
"Sudah dikatakan stateless. Itu sudah sangat tegas dalam UU, UU tentang Kewarganegaraan," kata Moeldoko di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Kamis (13/2).
Moeldoko mengatakan, status kewarganegaraan WNI eks ISIS tersebut otomatis gugur setelah mereka membakar paspor kewarganegaraannya.
"Ya, karena mereka sendiri yang menyatakan sebagai stateless. Pembakaran paspor adalah salah satu indikator," ujar dia.
Dalam rapat terbatas beberapa hari yang lalu, masalah status kewarganegaraan WNI eks ISIS itu pun juga dibahas. Ia menyebut, siapa saja yang memiliki niat untuk bergabung dengan sebuah organisasi teroris, sudah bisa diadili. Pemerintah juga akan melakukan langkah penegakan hukum ketika mereka kembali ke Indonesia.