REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, Maqdir Ismail, menilai Komisi Pemberantasan Korupsi terlalu berlebihan memasukkan kliennya ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Pada Kamis (13/2) kemarin KPK telah menerbitkan DPO dan surat perintah penangkapan untuk Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan dua tersangka lain kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di Mahkamah Agung pada tahun 2011-2016, Rezky Herbiyono dan Hiendra Soenjoto.
"Menurut hemat saya itu tindakan yang berlebihan. Tidak sepatutnya seperti itu. Coba tolong pastikan dulu apakah surat panggilan telah diterima secara patut atau belum oleh para tersangka," tegas Maqdir kepada Republika, Jumat (14/2).
Maqdir mengatakan, sebaiknya lembaga antirasuah menunda dulu pemanggilan lantaran pihaknya masih mengajukan permohonan praperadilan. Bahkan, permohonan penundaan pemanggilan pun telah disampaikannya kepada KPK.
Jubir KPK Bidang Penindakan, Ali Fikri menegaskan, KPK akan terus bertindak tegas dan terus memproses perkara ini. KPK juga akan melakukan tindakan tegas sesuai hukum terhadap pihak-pihak yang tidak kooperatif ataupun jika ada pihak-pihak yang melakukan perbuatan obstruction of justice atau menghalang-halangi proses hukum sebagaimana diatur di Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu diatur dengan ancaman pidana minimal penjara 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
Penerbitan DPO, sambung Ali, dilakukan setelah sebelumnya KPK telah memanggil para tersangka secara patut. Namun ketiganya tidak hadir memenuhi panggilan tersebut.
"Sesuai ketentuan pasal 112 ayat (2) KUHAP (orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya), tkait dengan hal tersebut, selain mencari KPK juga menerbitkan surat perintah penangkapan," terang Ali.
Ali melanjutkan, penyidikan perkara ini telah dilakukan sejak 6 Desember 2019, dan untuk kepentingan penyidikan para tersangka sudah dicegah ke luar negeri sejak 12 Desember 2019. Tersangka juga telah mengajukan praperadilan dan telah ditolak oleh Hakim PN Jakarta selatan pada tanggal 21 Januari 2020.
"Kami ingatkan kembali agar para saksi yang dipanggil KPK bersikap koperatif dan pada semua pihak agar tidak coba-coba menghambat kerja penegak hukum," tegas Ali.
Ali menuturkan, dalam proses penerbitan DPO, KPK telah mengirimkan surat pada Kapolri pada Selasa (11/2) untuk meminta bantuan pencarian dan penangkapan terhadap para tersangka tersebut. KPK juga membuka akses penerimaan informasi bagi masyarakat yang mengetahui keberadaan para tersangka untuk melaporkan kepada kantor kepolisian terdekat atau menginformasikan pada KPK melalui Call Center 198 atau nomor telepon 021 25578300.
"Peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi sangat penting bagi KPK," ujar Ali.
Dalam perkara mafia kasus ini, KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Ketiganya ialah eks Sekretaris MA Nurhadi, menantu Nurhadi, Rezky Herbiyanto, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.
Mafia kasus ini terdiri dari dua perkara, yakni suap dan gratifikasi. Dalam perkara suap, Nurhadi diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dari Hiendra melalui menantunya Rezky.
Suap itu diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT. Nurhadi melalui Rezky juga diduga menerima janji 9 lembar cek dari Hiendra dalam perkara Peninjauan Kembali (PK) di MA.
Sementara dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp 12,9 miliar selama kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Uang itu untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA serta Permohonan Perwalian.
Nurhadi dan Rezky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.