REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam ajaran Islam, manusia memang diciptakan Allah dengan bakat dan tujuan akhir kebahagiaan, bukan kesengsaraan. Meski memang, Allah menyelipkan ujian dalam beragam bentuk, baik itu duka atau derita hingga manusia seolah merasakan kesengsaran.
Pengajar tasawuf, Haidar Bagir, dalam bukunya berjudul Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan mengungkapkan, bakat manusia untuk berbahagia itu nyatanya juga dibenarkan oleh psikologi modern semisal Freudianisme. Meski jika hendak disejajarkan, ajaran Islam justru lebih sejalan dengan muatan psikologi positif.
dalam ajaran Islam dipercaya manusia memang berbakat untuk berbahagia. Dan tugas psikologi hanyalah mencuatkan bakat berbahagia itu.
Dalam buku ini dijelaskan ajaran Islam bertumpu pada kasih sayang Allah SWT. Kebahagiaan berkaitan erat dengan kesiapan atau kesedihan—sebutlah kemauan—untuk berbahagia. Untuk berbahagia, manusia harus bersiap sedia melaksanakan kebahagiaan itu. Atau bahasa simpelnya, mau bahagia.
Mau berbahagia bisa diperoleh dengan modal memiliki sikap mental hati yang berbahagia dan mengembangkan prasangka baik ke manusia dan Allah SWT. Berprasangka baik kepada kehidupan yang diberikan Allah pun juga menjadi bagian dari modal tersebut.
Percayalah kehidupan ini dirancang Allah SWT dalam bentuk kebaikan, yang lahir dari kecintaan-Nya kepada makhluk-Nya. Maka jelas sudah apabila disorot dari kacamata positif, maka kehidupan ini tak memiliki sifat lain kecuali kebaikan.
Apabila kesulitan atau kesusahan hidup menghampiri, percayalah itu adalah bentuk kebaikan, hanya saja dia disamarkan. Sesungguhnya apa-apa yang tampak dari kesulitan, pada hakikatnya hanyalah pembuka jalan bagi kebaikan yang lebih tinggi.