REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Warga Arab Saudi kini memiliki kelonggaran untuk merayakan Hari Valentine. Hal itu terlihat dari sejumlah toko di Saudi, seperti di Jeddah dan Riyadh, yang menjajakan bunga, cokelat, dan hiasan Valentine sejak menjelang hari itu tiba pada 14 Februari.
Padahal di tahun-tahun sebelumnya, orang atau pun toko yang ikut merayakan Valentine bisa kena tindak polisi agama. Sebab, perayaan Hari Valentine diharamkan dan dipandang tidak islami di negara itu.
Namun, pembatasan menjadi lebih longgar setelah pada 2018, salah satu tokoh agama yang juga mantan presiden Komisi untuk Promosi Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan (CPVPV) di Makkah, Sheikh Ahmed Qasim Al-Ghamdi, mengatakan merayakan Hari Valentine tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Menurutnya, Valentine adalah masalah sosial duniawi, seperti halnya merayakan Hari Nasional dan Hari Ibu. Karena itu, kata dia, 14 Februari dapat dinikmati di seluruh dunia dan tidak hanya bagi non-Muslim.
"Semua ini adalah masalah sosial yang sama yang dimiliki oleh umat manusia dan bukan masalah agama yang membutuhkan adanya bukti agama untuk mengizinkannya," kata Al-Ghamdi pada 2019, seperti dilansir di Arab News, Jumat (14/2).
Bahkan, menurutnya, mengucapkan selamat kepada non-Muslim pada perayaan keagamaan mereka diperbolehkan, selama tidak turut berpartisipasi dalam tindakan terlarang yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ia lantas menekankan Valentine adalah perayaan universal dan tidak didasarkan pada keyakinan atau agama tertentu. Karena itu, menurutnya, diperbolehkan bagi umat Islam menghabiskan waktu pada tanggal tersebut bersama orang yang mereka cintai.
Pernyataan Al-Ghamdi ini dinilai kontroversial. Banyak pula ulama di Saudi yang menyatakan perayaan Hari Valentine itu haram dalam Islam. Namun, bukan kali ini saja Al-Ghamdi mengeluarkan pernyataan yang kontroversial.
Sebelumnya pada 2014, Al-Ghamdi juga menimbulkan kehebohan ketika ia muncul di sebuah acara talk show di televisi dengan istrinya yang tidak mengenakan cadar saat itu. Padahal, wanita Saudi umumnya mengenakan cadar untuk menutupi sebagian wajah mereka.
Pada acara yang dibawakan oleh pembawa acara terkenal Badria Al-Bishr itu, Al-Ghamdi mengatakan wanita tidak diwajibkan mengenakan niqab (cadar) dan diperbolehkan menggunakan make-up (kosmetik) serta produk kecantikan lainnya. Kontroversi itu semakin meluas ketika Al-Ghamdi mengizinkan istrinya terlihat di televisi nasional tanpa mengenakan cadar sehingga memancing reaksi dari kaum konservatif agama di negara itu.