Ahad 16 Feb 2020 05:17 WIB

Skandal FFP Manchester City dan Rui Pinto Sang Whistleblower

UEFA menghukum Manchester City setelah skandal FFP dibocorkan oleh seorang Rui Pinto.

Rui Pinto
Foto: EPA-EFE/Rodrigo Antunes
Rui Pinto

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Rizky Suryarandika

UEFA menjatuhkan sanksi larangan bermain di Liga Champions selama dua musim ke depan untuk Manchester City. Klub elite Inggris itu juga diharuskan membayar denda sebesar 30 juta Euro.

Baca Juga

Sanksi dijatuhkan setelah City terbukti melanggar aturan keuangan (finacial fair play/FFP) yang ditetapkan Badan Kontrol Keuangan Klub (CFCB) UEFA. City terbukti menggelembungkan pendapatannya dari pihak sponsor untuk menghindari aturan FFP.

“The Adjudicatory Chamber telah mempertimbangkan semua bukti dan menemukan bahwa Manchester City melakukan pelanggaran serius terhadap aturan financial fair play UEFA dengan melebih-lebihkan pendapatan sponsor dalam akunnya dan dalam informasi keseimbangan keuangan yang dikirimkan ke UEFA antara 2012 dan 2016," bunyi pernyataan UEFA dilansir The Guardian, Sabtu (15/2).

Selain itu, UEFA juga menyatakan, bahwa pihak City tak bekerja sama dengan baik selama penyelidikan kasus ini. Merespons sanksi tersebut, pihak City mengaku kecewa meski tak terkejut dengan putusan itu. Pihak klub juga menyatakan akan mengajukan banding atas larangan bermain di Liga Champions dan denda secepat mungkin kepada pengadilan arbitrase untuk olahraga (CAS).

"Sederhananya, ini adalah kasus yang diprakarsai oleh UEFA, dituntut oleh UEFA dan diadili oleh UEFA. Dengan berakhirnya proses prasangka ini, klub akan mengejar penilaian yang tidak memihak secepat mungkin dan oleh karena itu, dalam contoh pertama, akan memulai proses dengan Pengadilan Arbitrase untuk Olahraga dalam waktu dekat," demikian bunyi pernyataan resmi City.

Temuan kasus ini berawal dari laporan majalah terbitan Jerman, Der Spiegel pada November 2018. Majalah Jerman itu mempublikasikan sejumlah dokumen dan surat elektronik yang bocor terkait transaksi City.

Dokumen dan surat elektronik yang bocor itu menunjukkan bahwa pemilik City, Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan dari keluarga penguasa Abu Dhabi, mendanai sponsor jersey City sebesar 67,5 juta euro, stadion dan akademi City lewat perusahaan maskapai negaranya, Etihad Airways. Salah satu surat elektronik yang bocor menunjukkan, bahwa dana sponsor pada 2015-2016 hanya 8 juta euro yang didanai langsung oleh Etihad Airways, sponsor resmi City. Sisanya, berasal dari perusahaan keuangan swasta milik Mansour sendiri yang ia gunakan sebelumnya untuk mengakuisisi City, yakni Abu Dhani United Group.

Adapun, aturan FFP diterapkan mulai 2011 dengan tujuan mendorong klub sepak bola di seluruh Eropa untuk tidak mengeluarkan uang lebih dari gaji pemain dan membatasi jumlah uang yang dapat dimasukkan pemilik klub untuk menutupi kerugian. Dana kerja sama dengan pihak sponsor akan meningkatkan pendapatan klub dan karenanya jumlah yang harus dihabiskan klub harus di bawah FFP.

Dengan persepsi demikian, tulis The Guardian, Mansour sendirilah yang mendanai sponsor Etihad. Hal ini menimbulkan dugaan serius bahwa City telah menipu CFCB UEFA, badan yang bertanggung jawab memastikan kepatuhan FFP.

City membantah telah melakukan kesalahan dan mengecam laporan Der Spiegel karena didasarkan pada materi yang "bocor atau dicuri" lalu diambil di luar konteks. Laporan Der Spiegel yang menganonimkan sumbernya terkait kasus ini sebagai "John", mengatakan bahwa dia tidak meretas komputer untuk mendapatkan bocoran surat elektronik tersebut.

Tak lama setelah laporan Der Spiegel dipublikasikan, kemudian terungkap sumber utama koran itu adalah seorang warga negara Portugal bernama Rui Pinto. Dilansir dari Daily Mail pada Sabtu, (15/2), Pinto dilaporkan mengakses 70 ribu dokumen dan 3,4 terabytes informasi. Ulah pria asal Portugal ini dilakukan dari kediamannya pada 2015 atas nama Football Leaks. Aksi kelompok Football Leaks menyasar kecurangan pajak dan pelanggaran lainnya oleh klub sepak bola.

"Saya tahu apa pun bisa terjadi, saya tahu otoritas Portugal bisa menindak whistleblowers. Jadi saya sudah siap untuk itu," kata Pinto.

Kemungkinan terburuk yang sudah diperkirakan Pinto pun memang akhirnya terjadi. Pria berusia 31 tahun itu ditangkap sejak Maret tahun lalu atas tuduhan peretasan, sabotase dan penipuan. Pinto sudah dipenjara sejak Maret tahun lalu. Pinto saat ini tengah menunggu persidangan di 90 negara berbeda.

Aksi Pinto menuai simpati dunia. Sebagian kalangan mendukung pembebasannya. Pinto dianggap pahlawan yang mendukung transparansi dalam dunia sepak bola profesional.

Aksi Pinto dinilai sejalan dengan dukungan terhadap pembatasan finansial oleh klub-klub bermodal dahsyat. Sebab, kehadiran klub super kaya menimbulkan ketidakadilan bagi klub lainnya. Klub yang tak punya modal besar pun ada yang terpaksa berutang demi mendatangkan pemain.

Tercatat sejak Jumat (14/2), jagad media sosial diramaikan dengan tagar bebaskan Pinto atau #freePinto. Bahkan fan Borussia Dortmund memasang banner dukungan pada Pinto.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement