REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Pekerja Nasional (SPN) menyatakan bahwa Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja secara nyata mereduksi fungsi undang-undang ketenagakerjaan dalam melindungi para pekerja dalam negeri.
Ketua Umum SPN, Joko Haryono pun menyatakan bahwa serikat pekerja sama sekali tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU tersebut.
Joko menegaskan, salinan draf resmi RUU Cipta Kerja yang telah diserahkan kepada Pimpinan DPR menunjukkan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pemilik perusahaan terkesan lebih mudah. Sebab, pasal-pasal sanksi pidana terkait PHK sepihak dihapus.
Mereka yang menjadi korban PHK memang dijanjikan pesangon oleh pemilik perusahaan. Namun, pesangon yang diberikan maksimal hanya 17 bulan gaji. Di sisi lain kewajiban perusahaan dalam memberikan pesangon pun tidak disertai dengan pasal sanksi perusahaan jika tidak membayarkan pesangon.
"PHK dipermudah, pesangon tidak jelas. PHK menjadi pasti, tapi pesangon sebatas janji. Ini sama saja dengan membuat tidak adanya jaminan bagi pekerja," kata Joko dalam Konferensi Pers Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia di Jakarta, Ahad (16/2).
Lebih lanjut, Joko menekankan bahwa RUU Cipta Kerja secara nyata telah menghilangkan fungsi job security, salary security, serta social security. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang sejauh ini dinilai masih belum sesuai dengan kebutuhan para pekerja, pun masih lebih baik dibanding RUU Cipta Kerja.
Menurut dia, munculnya RUU Cipta Kerja telah mulai menimbulkan kegaduhan di banyak perusahaan. Ia menyampaikan bahwa banyak laporan yang ia terima bahwa perusahaan-perusahaan memanfaatkan isu RUU Cipta Kerja untuk menawarkan PHK secara ilegal dengan alasan efisiensi.
"Mereka ditawarkan pesangon tapi setengahnya. Ini ilegal. Ini berdasarkan laporan yang saya terima," ujarnya.