REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja memasukkan revisi terhadap sejumlah pasal dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Direktur LBH Pers, bersama dengan Aliansi Jurnalis Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menilai upaya revisi tersebut adalah bentuk campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers.
"Niat untuk campur tangan lagi ini terlihat dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang akan membuat peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar pasal 9 dan pasal 12," kata Direktur LBH Pers Ade Wahyudin dalam keterangan tertulis, Ahad (16/2).
Pasal 9 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawabnya secara terbuka.
"Dengan membaca RUU Cipta Lapangan Kerja ini, yang di dalamnya ada usulan revisi agar ada Peraturan pemerintah yang mengatur soal pengenaan sanksi administratif, itu adalah bentuk kemunduran bagi kebebasan pers," katanya.
Menurutnya hal tersebut sama saja dengan menciptakan mekanisme 'pintu belakang' (back door) atau 'jalan tikus' bagi pemerintah untuk ikut campur urusan pers. Ia mengkhawatirkan hal buruk seperti di masa Orde Baru akan terulang kembali, di mana ketika itu pemerintah menggunakan dalih soal administratif untuk mengekang pers.
"Kami meminta revisi pasal ini dicabut," ujarnya.
Selain itu, keputusan untuk menaikkan sanksi denda bagi perusahaan pers juga mendapat penolakan dari sejumlah insan pers. Ade mengatakan, dalam usulannya, pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp 2 miliar –naik dari sebelumnya Rp 500 juta.
"Kami mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400 persen, dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat mengoreksi atau mendidik," ujarnya.
Ia menganggap, dengan jumlah denda yang sebesar itu, yang ada adalah semangatnya lebih bernuansa balas dendam. Selain itu, adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers.
"Oleh karena itu, kami meminta usulan revisi pasal ini dicabut," ujarnya.
Kemudian LBH Pers, AJI, PWI, IJTI juga menuntut konsistensi pemerintah dalam menerapkan Undang-undang Pers. Menurutnya undang-undang tersebut selama ini dinilai masih memadai untuk melindungi kebebasan pers asalkan dilaksanakan dengan konsisten.
Ade berpandangan, menaikkan sanksi denda bagi orang yang melanggar pasal 4 ayat 2 dan 3 adalah bukan solusi menegakkan UU Pers. Namun, yang lebih utama adalah bagaimana konsistensi dalam implementasinya.
"Selama ini, tindakan orang yang dinilai melanggar dua ayat itu antara lain berupa kekerasan terhadap wartawan saat menjalankan tugasnya. Tindakan itu dikategorikan sebagai melanggar pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Pers, tapi juga masuk kategori pidana dalam KUHP. Selama ini, para pelaku kekerasan terhadap wartawan itu lebih sering dijerat dengan KUHP, yang hukumannya lebih ringan," ujarnya.
Ade menuturkan, jika aparat penegak hukum ingin melindungi kebebasan pers, maka seharusnya hukuman yang dipakai menggunakan Undang-Undang Pers yang sanksinya lebih berat, yaitu bisa dikenai dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta. Namun, jika sanksi yang sudah ada selama ini saja jarang dipakai, ia mempertanyakan usulan revisi terhadap pasal tersebut.
"Kami menangkap kesan pemerintah seperti menjalankan politik lip service, pencitraan, untuk mengesankan melindungi kebebasan pers, dengan cara menaikkan jenis sanksi denda ini. Bagi kami, yang jauh lebih substantif yang bisa dilakukan pemerintah adalah konsistensi dalam implementasi penegakan hukum Undang-Undang Pers," ucapnya.