Senin 17 Feb 2020 00:20 WIB

Bima Arya tak Ingin Omnibus Law Korbankan Nilai Demokrasi

Bima Arya ingin setiap aturan dibahas secara inklusif, transparan, dan partisipan.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto (kedua kanan) memberi paparan bersama politisi PDI Perjuangan Rokhmin Dahuri (kiri), politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lidya Hanifa (kedua kiri) dan DirekturIndo Barometer M. Qodari (kanan) dalam rilis survei kinerja evaluasi 100 hari pemerintahan Jokowi-Amin di Jakarta, Ahad (16/2/2020).
Foto: Antara/Reno Esnir
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto (kedua kanan) memberi paparan bersama politisi PDI Perjuangan Rokhmin Dahuri (kiri), politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lidya Hanifa (kedua kiri) dan DirekturIndo Barometer M. Qodari (kanan) dalam rilis survei kinerja evaluasi 100 hari pemerintahan Jokowi-Amin di Jakarta, Ahad (16/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto ikut berkomentar soal Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Ia menyoroti RUU Cipta Kerja yang di dalamnya mengatur mengenai penetapan upah minimum di tingkat provinsi oleh gubernur sehingga tidak lagi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

"Harus dikaji dululah, ya, karena karakteristik tiap kota kan bisa berbeda-beda. Boleh satu Provinsi Jawa barat, tapi antara Kota Bogor dan Kabupaten Bogor bisa berbeda. Jadi, harus hati-hati di situ," ujarnya.

Demikian pula mengenai poin bahwa wali kota atau bupati yang bisa dipecat oleh gubernur dalam RUU Cipta Kerja. Bima berpendapat pikiran untuk mengejar investasi dan pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan nilai-nilai demokrasi.

Namun, Bima Arya masih belum yakin jika draf Omnibus Law yang beredar itu valid, termasuk soal adanya poin bahwa wali kota dan bupati bisa diberhentikan oleh gubernur.

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengaku pernah sekilas mendapatkan klarifikasi dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang masih mengklarifikasi draf tersebut.

"Tapi poinnya adalah proses Omnibus Law ini harus lebih transparan, inklusif, dan partisipan," kata mantan Wakil Ketua Umum PAN itu.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اِذْ اَنْتُمْ بِالْعُدْوَةِ الدُّنْيَا وَهُمْ بِالْعُدْوَةِ الْقُصْوٰى وَالرَّكْبُ اَسْفَلَ مِنْكُمْۗ وَلَوْ تَوَاعَدْتُّمْ لَاخْتَلَفْتُمْ فِى الْمِيْعٰدِۙ وَلٰكِنْ لِّيَقْضِيَ اللّٰهُ اَمْرًا كَانَ مَفْعُوْلًا ەۙ لِّيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْۢ بَيِّنَةٍ وَّيَحْيٰى مَنْ حَيَّ عَنْۢ بَيِّنَةٍۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَسَمِيْعٌ عَلِيْمٌۙ
(Yaitu) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh sedang kafilah itu berada lebih rendah dari kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), niscaya kamu berbeda pendapat dalam menentukan (hari pertempuran itu), tetapi Allah berkehendak melaksanakan suatu urusan yang harus dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasa dengan bukti yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidup dengan bukti yang nyata. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

(QS. Al-Anfal ayat 42)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement