Senin 17 Feb 2020 09:58 WIB

Ekonomi China: Di Ambang Kejatuhan dan Angka Pengangguran

Pemerintah China menjanjikan keringanan pajak dan subsidi untuk perusahaan.

Pertumbuhan ekonomi Cina melambat akibat wabah virus corona.
Foto: Reuters
Pertumbuhan ekonomi Cina melambat akibat wabah virus corona.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Penjualan agen real estate Du Xuekun biasanya melonjak setelah liburan Tahun Baru Imlek. Tetapi tahun ini, Du hanya berada di rumah selama sebulan tanpa pendapatan setelah sebagian besar kegiatan perekonomian China ditutup dalam upaya besar-besaran menghadang penyebaran wabah virus corona.

Du, yang tinggal di Jiaozhuo, dekat pusat kota Zhengzhou, adalah satu dari jutaan orang di China yang menanggung lonjakan biaya akibat kebijakan penanggulangan wabah penyakit paling ekstrem yang pernah diberlakukan pemerintah China.

Baca Juga

Ia biasanya berhasil membukukan dua penjualan dalam sebulan dan menghasilkan 7.000-8.000 yuan atau setara 1.000-1.100 dolar AS. Dan setiap bulannya, ia harus membayar cicilan pinjaman sebesar 3.000 yuan atau setara 430 dolar AS.

"(selama ini) Saya tidak punya gaji pokok dan hidup berdasarkan komisi," kata Du. "Tanpa penjualan, sekarang saya tidak akan memiliki penghasilan."

Meski beberapa kegiatan bisnis dibuka kembali, tetapi Beijing telah menginstruksikan masyarakat untuk tetap tinggal di rumah jika memungkinkan. "Orang-orang akan tetap membeli makanan dan pakaian secara online. Tetapi pasti mereka tidak akan membeli apartemen tanpa melihatnya," kata Du.

Kegiatan industri mobil hingga ritel ditutup secara efektif mulai 23 Januari dengan penangguhan sebagian besar akses ke Wuhan, kota yang menjadi pusat wabah virus corona.

Selain itu, pembatasan perjalanan diperluas ke kota-kota dengan lebih dari 60 juta orang. sementara pembatasan bisnis menyebar ke seluruh negeri.

Liburan Tahun Baru Imlek pun diperpanjang untuk membuat pabrik dan kantor tutup. Di seluruh China, ribuan restoran dan bioskop telah ditutup untuk mencegah orang banyak berkumpul.

Akibatnya, ancaman kerugian yang meningkat kini ada di depan mata dan ini menjadi tanggung jawab politik bagi Partai Komunis yang berkuasa. Pejabat lokal telah diperintahkan untuk menghidupkan kembali kegiatan bisnis tetapi bergerak dengan hati-hati.

Pada Ahad (16/2), sekitar 1.665 kematian dan 68.500 kasus akibat virus corona telah dilaporkan dalam dua bulan sejak infeksi pertama pada Desember 2019.

Para ekonom memperingatkan optimisme bahwa wabah corona ini bisa dikendalikan dengan cepat. Bahkan jika manufaktur otomatis dan bisnis lain dilanjutkan sesuai rencana, aktivitas tidak akan kembali normal hingga setidaknya pertengahan Maret.

Kerugian diperkirakan sangat besar sehingga para analis telah memotong perkiraan untuk pertumbuhan ekonomi China.

Sejumlah analis termasuk Capital Economics mengatakan pertumbuhan ekonomi China, mungkin jatuh ke angka 2 persen dalam tiga bulan yang berakhir pada bulan Maret. Proyeksi ini turun dari angka resmi kuartal sebelumnya sebesar 6 persen.

"Jika ekonomi benar-benar mengalami kejatuhan, tantangan bagi partai akan meningkat secara substansial," kata Steve Tsang, direktur Institut Cina di Sekolah Studi Oriental dan Afrika London.

Sementara itu menanggapi tekanan ekonomi yang meningkat, pemerintah China menjanjikan keringanan pajak dan subsidi kepada perusahaan yang dirugikan oleh kebijakan penanggulangan wabah penyakit. "Pemerintah perlu menjaga operasi ekonomi yang stabil dan keharmonisan sosial," kata Presiden Xi Jinping, Rabu (12/2).

Pada hari Jumat (14/2), Departemen Keuangan mengumumkan bahwa perusahaan dengan penjualan bulanan di bawah 100 ribu yuan atau setara 14 ribu dolar AS akan dibebaskan dari pajak pertambahan nilai dan lainnya. Dikatakan perusahaan-perusahaan yang tidak dapat membayar pinjaman mungkin diizinkan untuk mengajukan force majeure, yakni meminta keringanan atas kewajiban dalam bencana.

Bisnis perjalanan paling terpukul setelah pemerintah membatalkan tur kelompok dan menyuruh pebisnis menunda perjalanan. Maskapai membatalkan ribuan penerbangan dan hotel ditutup.

Manajer sebuah agen perjalanan di Shenyang, kota terbesar di timur laut China, mengatakan pendapatan bulanannya, biasanya 100 ribu yuan, kini turun ke angka nol. Dia mengatakan agen masih membayar sewa dan upah 20 ribu yuan per bulan.

"Kami tidak berharap untuk melihat pemulihan ekonomi hingga Mei atau Juni," kata manajer bernama Xu tersebut.

"Kami benar-benar berharap pemerintah dapat memberi kami pembebasan atau pengurangan pajak, tetapi kami belum melihat subsidi," ujar Xu menambahkan.

Para pemimpin Cina telah berjuang untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang melambat menjadi 6,1 persen pada tahun lalu berkat lemahnya permintaan konsumen dan perang tarif dengan Amerika Serikat. Beberapa ekonom, mengutip survei industri dan data lainnya, mengatakan pertumbuhan riil sudah jauh lebih lemah dari itu.

Kebijakan penanggulangan wabah corona berdampak pada tutupnya pabrik-pabrik di China yang selama ini memasok dunia dengan produk smartphone, furnitur, sepatu, mainan dan peralatan rumah tangga.  Korea Selatan dan ekonomi lain yang mengandalkan Cina sebagai pasar ekspor juga menghadapi potensi kehilangan pekerjaan.

Sementara itu, perusahaan e-commerce sedang mempekerjakan pekerja tambahan untuk mengatasi banjir permintaan karena keluarga tinggal di rumah dan membeli bahan makanan online. Tapi jalan-jalan di Beijing dan kota-kota besar lainnya masih sepi dan sepi.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement