REPUBLIKA.CO.ID, MUNICH - Beberapa negara dan diplomat regional meluncurkan sebuah komite internasional yang bertujuan mengawasi embargo senjata dan gencatan senjata di Libya. Komite internasional tersebut diluncurkan pada pertemuan antar menteri luar negeri dan diplomat dalam Konferensi Keamanan di Munich, Jerman pada Ahad (16/2) waktu setempat.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas menegaskan kembali komitmen para negara-negara yang menghadiri Konferensi Berlin bulan lalu. Konferensi bulan lalu merencanakan dibentuknya Komite Tindak Lanjut Internasional tentang Libya (IFCL) yang diluncurkan Ahad ini.
"Ini adalah salah satu kesimpulan paling penting dari Konferensi Berlin bulan lalu. Komite ini sekarang akan bekerja untuk memastikan bahwa semua kesimpulan Konferensi Berlin akan benar-benar dilaksanakan," ujar Maas dilansir Anadolu Agency, Senin.
Dia mengatakan komite itu akan mengawasi dialog intra-Libya yang dipimpin PBB. Komite juga mendukung dengan cara terbaik untuk jalan damai.
Menurut Maas, IFCL yang baru dibentuk akan diketuai bersama oleh PBB dan salah satu negara peserta atau organisasi dari pertemuan Berlin. Sebagai ketua bersama bergilir berikutnya, Italia-lah yang akan menjadi tuan rumah pertemuan IFCL bulan depan di Roma.
Menteri Luar Negeri Turki Melvut Cavusoglu juga menghadiri pertemuan di Munich, Ahad. Pertemuan juga dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Prancis, Italia, dan beberapa negara dari wilayah tersebut.
Anggota Dewan Keamanan PBB seperti Rusia, China, dan Amerika Serikat mengirimkan wakil menteri luar negeri dan diplomat seniornya pada pertemuan itu. Para menteri luar negeri dari Mesir dan Uni Emirat Arab sebagai pendukung utama panglima perang Libya Khalifa Haftar, juga ambil bagian dalam pertemuan itu.
Bulan lalu, Jerman menjadi tuan rumah Konferensi di Berlin untuk menyimpulkan persatuan internasional mendukung upaya bagi solusi politik dan gencatan senjata di Libya. Konferensi Berlin berakhir dengan janji gencatan senjata dan embargo senjata. Para kepala negara dan pemerintah sepakat untuk membentuk komite tindak lanjut membahas implementasi kesimpulan konferensi.
Sejak penggulingan mendiang penguasa Muammar Gaddafi pada 2011, dua kursi kekuasaan telah muncul di Libya. Pertama, panglima perang Khalifa Haftar di Libya timur yang didukung terutama oleh Mesir dan Uni Emirat Arab. Kedua, Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) di Tripoli yang menikmati pengakuan PBB dan internasional.
Pemerintah sah Libya telah diserang oleh Haftar sejak April lalu. Akibatnya lebih dari 1.000 orang terbunuh dalam serangan itu.