Senin 17 Feb 2020 14:30 WIB

Komnas Anak Kritisi Pemerintah Soal Pencegahan Perundungan

Komnas Anak mengkritisi pemerintah soal pencegahan perundungan di sekolah.

Red: Reiny Dwinanda
Stop Bullying. Komnas Anak mengkritisi pemerintah soal pencegahan perundungan.
Foto: Reiny Dwinanda/Republika
Stop Bullying. Komnas Anak mengkritisi pemerintah soal pencegahan perundungan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Meardeka Sirait mengatakan, pemerintah perlu segera membuat mekanisme nasional untuk mencegah perundungan terhadap anak-anak Indonesia. Ia menilai, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tidak cukup hanya membuat aturan-aturan bahwa sekolah itu harus bebas dari kekerasan.

"Harus ada sistem atau mekanisme nasional," kata dia di Jakarta, Senin.

Baca Juga

Hingga saat ini, menurut dia, Indonesia belum memiliki mekanisme nasional yang dimaksud. Sementara itu, beberapa negara Eropa, di antaranya Irlandia, sudah ada mekanisme anti perundungan dan kekerasan di sekolah.

Arist menjelaskan, mekanisme anti kekerasan terhadap anak tersebut tidak hanya sebatas aturan namun ada kesepakatan nasional di setiap rumah dan kampung untuk merespon secara cepat apabila ada potensi atau kecenderungan anak-anak menjadi pelaku maupun korban kejahatan tadi.

"Jadi tidak hanya sekadar mempersalahkan orang, tapi juga upaya bagaimana mencegahnya," ujar dia.

Menurut Arist, tidak hanya sekadar sebatas seruan bahwa di sekolah tersebut ramah anak, namun harus ada sebuah sistem yang dibangun. Selain itu, ia juga meminta pemerintah, terutama sekolah, melakukan pendataan anak terkait perubahan perilaku.

"Misalnya, dia memiliki perubahan perilaku, lalu bagaimana mereka dideteksi secara dini apakah berpotensi jadi pelaku atau korban," katanya.

Lebih jauh, Arist mengatakan, para guru Bimbingan Konseling (BK) belum memiliki data terkait perubahan atau perkembangan perilaku anak. Misal anak mengalami perundungan ciri-cirinya apa, interaksi sosial mereka bagaimana.

Arist mengatakan, kejadian perundungan di SMP negeri di Malang dapat menjadi contoh energi remaja yang tidak tersalurkan dengan baik. Menurutnya, pemberlakuan sanksi bagi pelaku kejahatan hanya sebatas penegakan hukum saja, namun tidak bisa memutus mata rantai secara penuh dari tindakan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement