REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengungkap Kementerian Komunikasi tidak mengusulkan perubahan Undang-Undang Pers dalam Omnibus Law Rancangan undang-undang Cipta Kerja. Karena itu, ia mengaku tidak mengetahui jika ada perubahan sejumlah pasal UU Pers dalam RUU Cipta Kerja.
Itu disampaikan Johnny, menyusul kritikan insan pers mulai Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan LBH Pers atas perubahan dua pasal yakni pasal 11 dan terkait sanksi denda hingga empat kali lipat pada perusahaan media, dan menambah adanya sanksi administratif.
"Sepengetahuan saya kominfo tidak mengusulkan perubahan UU Pers pada RUU Cipta Kerja," kata Johnny melalui pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Senin (17/2).
Johnny mengaku akan memeriksa poin perubahan tersebut, sekaligus landasan dari perubahan poin tersebut. Ia akan berkoordinasi dengan Kementerian Perekonomian sebagai pihak yang menyiapkan draft RUU Cipta Kerja.
Namun demikian, Johnny menegaskan Pemerintah terbuka untuk menerima kritikan dan masukan yang bersifat konstruktif dalam proses pembahasan antara Pemerintah dan DPR.
"Jika ada masukan yang konstruktif mohon dapat segera disampaikan agar bisa didiskusikan secara lebih komprehensif pada saat pembahasan dan proses politik di DPR RI," ujar Johnny.
Karena itu, Politikus Partai Nasdem itu mempersilahkan pihak-pihak yang keberatan untuk memberikan masukan terhadap poin-poin yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat.
"Pemerintah menyiapkan RUU Cipta Kerja dengan maksud yang sangat baik bagi bangsa kita maka tentu akan terbuka untuk setiap diskusi yang konstruktif," ujar Mantan Anggota Komisi IX DPR tersebut.
Dalam draft Omnibus Law RUU Cipta Kerja paragraf kelima pasal 87 memuat perubahan pasal 18 dan 11 pada UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Dua pasal tersebut menambah sanksi denda hingga empat kali lipat pada perusahaan media, dan menambah adanya sanksi administratif.
Pasal 18 di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang selama ini digunakan, pada ayat 1 menyatakan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Lalu, dalam UU dan pasal yang sama, ayat 2 menyatakan, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta. Pasal 3 menyebut, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Sedangkan perubahannya di draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja, ayat 1 berbunyi, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.
Lalu ayat 2 menyatakan, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. Bukan hanya itu, ayat ketiga yang termuat dalam draf RUU Cipta Kerja menambah sanksi administratif, yang sebelumnya tidak ada. Ayat itu berbunyi, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.
Adapun dalam ayat berikutnya, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Sementara, revisi dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada Pasal 11 sendiri berbunyi: "Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal".
Insan pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan LBH Pers menilai, pemerintah seperti kembali ke masa orde baru yang ingin ikut campur di dalam 'dapur' pers.
Insan pers menilai, Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya.
"Kami mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400 persen, dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik," demikian pernyataan Pers yang disampaikan Ketua AJI Abdul Manan.
Fauziah Mursid