REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Fauzal melaporkan hasil penelitian Nagara, sebanyak 86 kepala daerah terpapar dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) 2015, 2017, dan 2018. Ia mengatakan, dalam tiga pilkada serentak di 541 wilayah, 33 provinsi, 419 kabupaten, dan 89 kota, ada 80 wilayah atau 14,78 persen yang terpapar dinasti politik.
"Pemilihan kepala daerah juga tak luput dari jerat oligarki," ujar mantan Anggota Komisi III DPR Akbar Faizal dalam Mukadimah dan Peluncuran Negara Institute di Jakarta, Senin (17/2).
Akbar memaparkan, pilkada serentak pada 2015 lalu melibatkan 1.658 pasangan calon (paslon) baik di tingkat provinsi (21 paslon), kota (117 paslon), dan kabupaten (714 paslon). Pilkada 2015 melahirkan 35 kepala daerah yang terpapar dinasti politik, dua orang di level provinsi dan 33 kepala daerah tingkat kabupaten/kota.
Kemudian Pilkada 2017 diikuti 337 paslon yang terdiri atas 90 calon perseorangan dan 247 pasangan dari partai politik. Pilkada Serentak 2017 melahirkan 17 kepala daerah terpapar dinasti politik. Di antaranya lima kepala daerah tingkat provinsi dan 12 kepala daerah level kabupaten/kota.
Akbar melanjutkan, Pilkada Serentak 2018 pun melahirkan 34 pemenang kepala daerah yang terkait dengan dinasti politik, tujuh kepala daerah tingkat provinsi dan 26 di kabupaten/kota. Pilkada 2018 diikuti 55 paslon di tingkat provinsi, 121 paslon di level kota, dan 344 paslon di tingkat kabupaten.
Menurut dia, dinasti politik terjadi karena beberapa anggota keluarga calon kepala daerah memiliki ambisi politik dan memberikan kemungkinan menguasai perpolitikan melalui keluarganya atau orang yang dekat dengan pejabat tersebut. Selain itu, dinasti politik terjadi karena ada upaya mewariskan kekuasaan dan modal dari pejabat sebelumnya.
Ia melanjutkan, hipotesis tersebut muncul karena keinginan para pejabat publik untuk terus melanggengkan pengaruhnya di pemerintahan atau dalam partai politik. Partai politik yang dimiliki oleh keluarga dan kerabatnya masing-masing yang akhirnya bermuara pada praktik oligarki di dalam tubuh partai itu sendiri.
Akbar kemudian meminta pembatalan segala regulasi yang memfasilitasi dominasi oligarki dalam pengisian jabatan publik tersebut. "Batalkan seluruh regulasi yang memfasilitasi dominasi oligarki dalam pengisian jabatan publik," kata dia.
Ia menuturkan, temuan ini menjadi indikasi kuat adanya masalah dalam sistem rekrutmen. Oligarki dalam partai politik tercermin dalam menguatnya dinasti politik akan berdampak pada demokrasi. "Oligarki dalam partai politik, sebagaimana tercermin dalam menguatnya dinasti politik telah merusak demokrasi kita," tutur Akbar.