REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil penelitian Nagara Institute menunjukkan, Banten menempati posisi teratas dalam daftar lima besar wilayah terpapar dinasti politik. Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faizal mengatakan, hal itu terlihat dari temuan selama tiga kali pilkada serentak pada 2015, 2017, dan 2018. Pilkada periode tersebut berlangsung di 541 wilayah baik provinsi maupun kabupaten/kota, dimana 80 wilayah di antaranya terpapar dinasi politik.
"Apabila wilayah terpapar dinasti politik dibandingkan dengan jumlah wilayah pilkada per provinsi, maka Banten menempati posisi teratas dalam daftar lima besar dengan 55,56 persen," ujar Akbar dalam peluncuran Nagara Institute di Jakarta, Senin (17/2).
Sementara posisi kedua adalah Kalimantan Timur (36,36 persen), diiikuti Jawa Timur (35,90 persen), Bali (30 persen), dan Sumatra Selatan (27,78 persen). Mantan Anggota Komisi III DPR RI itu mengatakan, pemilihan kepala daerah tak luput dari jerat oligarki.
Ia menyebutkan, dua dekade setelah reformasi, demokrasi Indonesia justru mengalami kemerosotan. Hal itu didukung riset The Economist Intelligence Unit yang menunjukkan skor indeks demokrasi Indonesia pada 2019 sebesar 6,48 persen dalam skala 0-10.
Menurut Akbar, banyak alasan yang menyebabkan performa demokrasi Indonesia cenderung menurun sejak reformasi. Faktor-faktor utama yang menyumbang turunnya kualitas demokrasi antara lain kebebasan sipil yang menyempit, intoleransi yang menguat, populisme, korupsi, dan bangkitnya oligarki.
Bahkan Nagara Institute, khusus soal oligarki, menemukan sebesar 17,22 persen hasil pemilihan DPR RI 2019 terpapar dinasti politik. Dengan demikian, 99 dari 575 anggota legislatif terpilih memiliki hubungan dengan pejabat publik.
"Jika dibandingkan dengan hasil pemilu legislatif sebelumnya, ternyata ada tren kenaikan politik dinasti. Pada Pileg 2019 ditemukan 27 kasus, kemudian pada Pileg 2014 ada 51 kasus," kata dia.
Menurut dia, dinasti politik terjadi karena beberapa anggota keluarga calon kepala daerah memiliki ambisi politik dan memberikan kemungkinan menguasai perpolitikan melalui keluarganya atau orang yang dekat dengan pejabat tersebut. Selain itu, dinasti politik terjadi karena ada upaya mewariskan kekuasaan dan modal dari pejabat sebelumnya.
Ia melanjutkan, hipotesis tersebut muncul karena keinginan para pejabat publik untuk terus melanggengkan pengaruhnya di pemerintahan atau dalam partai politik. Partai politik yang dimiliki oleh keluarga dan kerabatnya masing-masing yang akhirnya bermuara pada praktik oligarki di dalam tubuh partai itu sendiri.