Selasa 18 Feb 2020 02:19 WIB

Aturan Angkutan Ekspor Dikhawatirkan Berdampak Negatif

Indef khawatir aturan angkutan ekspor berdampak negatif ke perekonomian.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
INDEF Bhima Yudistira Adhinegara
Foto: Tahta Aidilla/Republika
INDEF Bhima Yudistira Adhinegara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 82 Tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu telah diubah beberapa kali.

Terakhir, dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 80 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 82 Tahun 2017 dan peraturan pelaksanaannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kementerian Perdagangan pun saat ini masih mengebut aturan baru tentang kebijakan itu. Dalam draf Permendag yang diperoleh wartawan disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1), eksportir wajib mengekspor batubara dan/atau CPO dengan menggunakan angkutan laut dan asuransi nasional.

Baca Juga

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, aturan tersebut bisa dipastikan cita-cita Presiden Jokowi terkait peningkatan ekspor hanya tinggal mimpi.

Menurut Bhima, angkutan laut saat ini memang masih didominasi oleh kapal berbendera asing terlebih masih minimnya kapal berbendera Indonesia. Sehingga, tak mudah peraturan tersebut diterapkan.

"Kalau tujuannya untuk menekan defisit transaksi berjalan, itu harus coba dikaji lagi, karena kalau dilihat dari perspektif yang lebih besar lagi, kebijakan itu efeknya negatif ke perekonomian," kata Bhima dalam keterangan resmi yang diterima, Senin (17/2).

Menurut Bhima, industri angkutan laut membutuhkan kepercayaan yang tinggi. Terlebih angkutan laut menjadi penghubung antar negara. Bhima mengatakan, aturan terkait angkutan ekspor benar-benar diterapkan, maka bukan tidak mungkin akan semakin memperburuk defisit transaksi berjalan. Lanjutnya, aturan tersebut dapat berakibat ekspor impor terganggu sehingga memperburuk defisit transaksi berjalan.

Bhima meminta pemerintah untuk kembali mengkaji ulang terkait aturan tersebut. Dia mengimbau pemerintah untuk terlebih dahulu mendengarkan masukan dari pelaku industrinya langsung.

"Mendengar masukan dari pelaku usaha di sektor komoditas ekspor penting. Roadmap yang jelas terkait pemberlakuannya pun penting," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan APBI telah menyampaikan secara resmi mengenai permasalahan ini kepada pemerintah melalui Kementerian Perdagangan agar peraturan ini dibatalkan atau ditunda pemberlakuannya.

APBI berpendapat bahwa peraturan tersebut dapat berjalan efektif jika industri perkapalan nasional sudah siap dan tersedia. "Saat ini, keberadaan kapal nasional masih sangat jauh dari mencukupi untuk memenuhi ekspor batubara Indonesia, bahkan hingga 10 tahun ke depan," katanya.

Hendra menambahkan beberapa pembeli telah memastikan akan membeli batubara dari negara lain seperti Australia dan Rusia. Hal ini dikarenakan ketidakpastian mengenai peraturan ini dapat berpotensi mengganggu kelancaran pasokan batubara mereka, juga menimbulkan tambahan biaya terhadap batubara yang mereka beli.

"Jika kondisi ini terus berlanjut maka dikhawatirkan akan terjadi penurunan ekspor batubara yang dapat berdampak terhadap pendapatan dan penerimaan negara. Sangat disayangkan karena saat ini harga batubara mulai membaik akibat meningkatnya permintaan dari China," ujar Hendra.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement