REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Untuk diketahui, pada permulaan abad ke-20 di Minangkabau terjadi perseteruan pendapat antara Kaum Muda dan Kaum Tua. Golongan yang pertama menghendaki ijtihad dan mengarusutamakan pembaharuan agama, sedangkan golongan yang kedua ingin mempertahankan tradisi.
Syekh Sulaiman ar-Rasuli cenderung pada Kaum Tua. Pada 1928, dia bersama dengan dua orang sahabatnya—Syekh Abbas Ladang Lawas dan Syekh Muhammad Jamil Jaho—mendirikan at-Tarbiyah. Lembaga itu dimaksudkan sebagai organisasi yang memayungi sekolah-sekolah agama di Sumatra Barat yang berafiliasi dengan Kaum Tua.
Sebab, pada masa itu Kaum Muda juga mulai bergeliat dengan mendirikan berbagai lembaga pendidikan, semisal madrasah diniyah atau Sekolah Thawalib. Belakangan, tepatnya pada 1930, at-Tarbiyah menjelma menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Perti pun pada 1946 pecah menjadi dua, yakni yang sejalan di jalur sosial-pendidikan dan di jalur politik (menjadi sebuah partai politik). Menurut Nopriyasman, Syekh Sulaiman memandang sedih perpecahan itu.
Dengan tokoh-tokoh Kaum Muda yang mengikuti gagasan Syekh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, sang syekh tidak jarang berseberangan pendapat. Misalnya, soal perlu tidaknya ruqyah atau beberapa gerakan dalam shalat. Namun, banyak pula terdapat kesamaan pandangan.
Seperti dipaparkan Buya Hamka dalam bukunya, Ayahku, antara Syekh Sulaiman dan Syekh Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya Hamka) sama-sama menyetujui persoalan harta pusaka Minangkabau. Bagi keduanya, perkara itu hanyalah soal harta musabalah yang akan mengikuti perkembangan zaman, sedangkan harta pencarian itulah yang dapat dibagi menurut kaidah hukum faraid (pembagian warisan). Keduanya hanya berbeda pendapat tentang signifikansi tarekat Naqsyabandiyah.
Pada 1928, pemerintah kolonial Belanda mulai bersikap hegemonis terhadap perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Minangkabau. Puncaknya, penjajah itu menerbitkan peraturan Guru Ordinansi, sehingga mengecap sekolah-sekolah di luar bentukan Belanda sebagai sekolah liar. Kebijakan itu dikecam keras oleh seluruh kalangan ulama, baik itu Kaum Muda maupun Kaum Tua.
Berdasarkan hasil rapat, maka Syekh Abdul Karim Amrullah mengutus wakil-wakil untuk menemui gubernur jenderal Hindia Belanda agar segera mencabut beleid itu. Di antara delegasi itu adalah Syekh Abdul Majid Abdullah, yang tidak lain dari golongan Kaum Tua.
Bukti persatuan Kaum Muda-Kaum Tua itu kembali muncul ketika Haji Rasul ditangkap Belanda. Syekh Sulaiman lantas menulis artikel-artikel yang mengkritik keras cara-cara kolonial itu dalam membungkam kaum pergerakan. Seperti ditegaskannya kemudian hari, khilafiyah dan furuk memang berbeda antara Kaum Tua dan Kaum Muda, tetapi secara prinsip keduanya seiring sejalan.
Pada masa pendudukan Jepang, berbagai organisasi Islam ditekan penguasa militer asing itu. Akan tetapi, begitu Dai Nippon kian terdesak di kancah Perang Dunia II, tekanan itu mulai berkurang. Kaum ulama mulai didekati dan dilonggarkan untuk berorganisasi. MIT yang dipimpin Syekh Sulaiman ar-Rasuli dibolehkan beroperasi.
Ketika Republik Indonesia diproklamasikan, Sumatra Barat termasuk yang menyambutnya dengan sangat antusias. Berbagai laskar bermunculan untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Syekh Sulaiman bersama-sama dengan banyak tokoh lainnya ikut mendorong bangkitnya perjuangan tersebut.
Dalam perspektif kaum ulama Minangkabau, upaya-upaya RI untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan ialah suatu jihad, sehingga perlu semangat sabilillah. Saat itu, utamanya sejak 1947, Syekh Sulaiman ar-Rasuli berposisi sebagai kepala mahkamah syariah Provinsi Sumatra Tengah.
Pada 1950-an, RI akhirnya diakui kedaulatannya. Sejak saat itu, kehidupan bernegara mulai berjalan sebagaimana mestinya. Dalam periode ini, terutama sesudah diberlakukannya Mosi Integral, berdirilah lembaga Konstituante yang bertujuan menyusun Undang-Undang Dasar yang lebih permanen. Syekh Sulaiman berperan sebagai seorang anggota Konsitiante.
Di antara para anggota lainnya dalam sidang pertama Konstituante, dialah yang berusia paling sepuh. Pada 1956, dia memimpin sidang majelis tersebut yang berpusat di Bandung, Jawa Barat. Di tengah forum resmi itu, gaya busananya tetap konsisten, yakni berbalut sarung dan sorban.