Selasa 18 Feb 2020 18:19 WIB

Pra Muktamar Muhammadiyah: Antara Modernisasi dan Purifikasi

Muhammadiyah disarankan mampu mendialogkan modernisasi dan purifikasi.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Nashih Nashrullah
Muhammadiyah disarankan mampu mendialogkan modernisasi dan purifikasi. Logo Muhammadiyah.
Foto: Antara
Muhammadiyah disarankan mampu mendialogkan modernisasi dan purifikasi. Logo Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG –  Panitia Penyelenggara Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48, bekerja sama dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyelenggarakan seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah 2020. 

Kegiatan yang berlangsung di Kampus UMM, Malang, Sabtu (8/2), itu mengangkat tema “Islam Berkemajuan: Manhaj, Implementasi dan Internasionalisasi" di Kampus UMM, Malang, Sabtu (8/2). Acara yang digelar diharapkan dapat dijadikan sebagai momentum kontemplasi dan refresh gerakan Muhamamdiyah yang telah berumur 108 tahun. 

Baca Juga

Topik utama yang menjadi pembahasan dalam acara tersebut adalah tentang medernisasi Islam, atau Islam berkemajuan. Tenaga ahli utama Kantor Staf Presidenan periode 2020-2024, Siti Ruhaini Dzuhayatin, menyatakan modernisasi dan kemajuan itu adalah kemampuan dari umat Islam untuk menentang gelombang globalisasi, dan gelombang universalisasi. 

"Wujud dari Islam berkemajuan dalam ranah hak asasi manusia adalah kontekstualisasi margin apresiasi. Jadi HAM internasional ini bagaimana dilaksanakan menurut perspektif Islam. Karena lokal di Indonesia mayoritas Muslim, maka harus perspektif syariah. Jadi syariah yang pro hak asasi manusia," kata dia. 

Ruhaini berpendapat, proses modernisasi Islam di Indonesia telah melahirkan dua organisasi besar. Yaitu Muhammadiyah dan Nadhdlatul Ulama. Dua organisasi ini, kata Ruhaini, yang melakukan transformasi, dimana Islam mengakar menjadi nilai-nilai etno religius.  

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Masdar Hilmi, menyatakan berbicara tentang pengarusutamaan Islam berkemajuan, maka menyangkut dua hal. Pertama, dalam konteks duo tarjih. Dimana yang satu adalah modernisasi, dan satu lainnya adalah purifikasi atau penyucian. 

"Dalam hal modernisasi mungkin ada baiknya mengurangi dosis purifikasinya. Di sisi lain kita menggenjot rasionalisasi atau medernisasinya," ujar Masdar.

Menurutnya, itu menjadi titik masuk bagi kompromi-kompromi yang ada di masyarakat. Dimana selama ini, gelombang purifikasi yang dilakukan Muhammadiyah ketika menghadapi pintu-pintu tradisi di masyarakat, itu tidak bisa kompromi. 

Menurutnya, ketika tidak bisa kompromi, maka bisa terjadi fragmentasi sosial. "Kalau purifikasi ditekan dan modernisasi digenjot, apapun misi-misi Muhammadiyah itu akan masuk tanpa harus ada perlawanan yang berarti," kata Masdar. 

Kemudian yang kedua, lanjut Masdar, konsep ar ruju' ila Qur'an wa sunnah itu jangan ditelan mentah-mentah. Artinya, perlu ada jembatan-jembatan untuk menterjemahkan konsep tersebut. Sehingga, ada perangkat-perangkat yang sifatnya membantu mendekatkan antara ilmu-ilmu yang ada di luar Alquran dan hadis dengan Alquran dan hadis. Karena itu punya kelekatan budaya. 

"Saya kira Muhammadiyah sudah perfect, sudah menunjukkan Islam rahmatan lil alamin. Siapapun boleh masuk tanpa ada screening. Ini satu bentuk yang belum kita apresiasi," ujar Masdar. 

Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Pradana Boy, menyatakan tidak ada masalah ketika pemikiran Islam kontemporer, membagi-bagi Islam ke dalam golongan-golongan. Karena menurutnya, Islam itu multidimensi, dan kerap memancing perbedaan realitas ketika Islam dipraktikan di masyarakat.  

"Perbedaan realitas itu dipicu bahwa Islam ini sangat fleksibel. Mampu mengalami adaptasi yang luar biasa dan yang paling penting adalah klasifikasi itu perlu untuk kepentingan ilmiah. Tidak mungkin Islam dipelajari tanpa kategorisasi," kata Pradana. 

Rektor UMM, Fauzan, mengatakan me-refresh kembali perjalanan Muhammadiyah menjadi sangat penting karena Muhammadiyah merupakan Ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia. Maka konsekuensi logis dari hal tersebut harus diikuti dengan cara berpikir yang besar bagi segenap warga persyarikatan.  

Dia mengingatkan, jangan sampai Muhammadiyah menjadi gerakan peorasi berjamaah yang memiliki arti Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan. Tetapi tidak pernah melahirkan cara-cara berpikir dan bertindak yang layak dikatagorikan sebagai pembaruan. 

“Kita harus sadar bahwa pendekatan inklusif dalam menggerakkan Muhammadiyah merupakan kunci untuk mencapai cita-cita besar Muhammadiyah,” kata Fauzan.

  

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement