REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) RI serta seluruh lembaga peradilan di bawahnya menggunakan tanda tangan elektronik dalam sistem peradilan berbasis e-court atau pengadilan elektronik. Setiap pengadilan hingga ke tingkat kasasi menerapkan tanda tangan elektronik dalam salinan putusan yang dikeluarkan lembaga peradilan sesuai Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 1 Tahun 2019.
"Berlakunya Perma 1 Tahun 2019 Pimpinan MA RI berharap seluruh pengadilan segera menerapkan tanda tangan elektronik dalam sistem peradilan berbasis elektronik (e-court)," ujar Wakil Ketua MA Syarifuddin dalam siaran pers, Senin (17/2).
Ia mengklaim dengan berlakunya tanda tangan elektronik dapat mewujudkan sistem peradilan Indonesia yang cepat, transparan, dan mudah diakses masyarakat. Dokumen salinan putusan yang telah bertanda tangan elektronik dapat memastikan keutuhan dokumen elektronik.
"Karena sekecil apapun perubahan yang dilakukan terhadap dokumen elektronik setelah proses penandatangan, akan dapat diketahui dengan mudah," lanjut dia.
Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik pada Pasal 26 ayat (4) berbunyi, “Putusan/penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk salinan putusan/penetapan elektronik yang dibubuhi tanda tangan elektronik menurut peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik”.
Ia menjelaskan, tanda tangan elektronik harus memenuhi aturan pasal 11 Undang-Undang 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), harus mengantongi Sertifikat Elektronik yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) Indonesia yang telah diakui Kementerian Kominfo. PSrE Indonesia yang telah mendapatkan pengakuan ialah Balai Sertifikasi Elektronik Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Syarifuddin juga mengatakan, tanda tangan elektronik sesuai prinsip Keamanan dari Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Hal itu terkait kerahasiaan, keutuhan, ketersediaan, keaslian, dan kenirsangkalan (non-repudiation).
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat (Humas) MA, Abdullah mengatakan, tanda tangan elektronik melengkapi sistem e-court. Sehingga proses peradilan mulai dari pendaftaran perkara, persidangan, sampai salinan putusan dapat diakses secara elektronik.
Meski persidangan tak tatap muka secara langsung, ia mengklaim pengadilan elektronik justru menghemat biaya, waktu, jaminan keamanan, dan menjaga harmonisasi keluarga. Sebab, pemohon perkara, pengacara, pegawai peradilan, hingga hakim tak membutuhkan waktu lama untuk berperkara di tempat lain.
"Kita ini ada 910 pengadilan. Ini (e-court) akan sangat mengurangi biaya. Kalau di Papua saja ini biaya perkara sampai puluhan juta karena memberitahukan surat penggilan ke daerah itu kan harus naik pesawat dan harus menginap. Itu biaya berapa," kata Abdullah saat ditemui di kantor MA, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).
Kendati proses peradilan dilakukan secara online mulai dari permohonan perkara, persidangan, sampai salinan putusan dapat diunduh di situs resmi e-court, keutuhan dokumen dapat terjamin dengan tanda tangan elektronik tersebut. Menurut Abdullah, setiap panitera pengadilan mendapat bimbingan teknis tanda tangan elektronik yang berlangsung pekan ini.
Sehingga, meski tak bertatap muka antara penggugat, saksi, pengacara maupun hakim, keabsahan salinan putusan dapat terjamin karena pembubuhan tanda tangan elektronik tersebut. Meskipun demikian, kata Abdullah, e-court ini masih menyisakan rintangan, salah satunya infrastruktur internet.
"Cuma infrastrukturnya belum dibangun. Kendala utama itu di internet karena di negeri kita kendala utama ya sinyal itu," kata Abdullah.