REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Holding Semen Indonesia mendesak pemerintah untuk menerbitkan regulasi morotarium pembangunan pabrik semen baru. Hal ini dikarenakan maraknya pabrik semen asing yang melakukan predator pricing dan membuat semen dalam negeri menjadi overcapacity.
Direktur Utama Semen Indonesia Grup (SIG), Hendi Priyo Santoso menjelaskan sejak empat tahun lalu gempuran produk semen asing membanjiri pasar Indonesia. Tak hanya berasal dari impor saja, tetapi juga banyak pabrik yang berasal dari investor asing yang menjual semen dengan harga yang murah.
"Saat ini overcapacity mencapai 45 persen. Hal ini membuat kami rasa perlu adanya moratorium pabrik semen agar harga semen tak makin anjlok," ujar Hendi di Komisi VI DPR RI, Selasa (18/2) malam.
Ia mencatat sampai akhir tahun lalu, penambahan kapasitas dari pabrik asing mencapai 9 juta ton. Pabrik semen asing ini kata Hendi antara lain adalah HiedelbergCement, Conch dan beberapa perusahaan lain asal Taiwan dan Thailand.
Padahal, produksi dalam negeri yang dipasok dari SGI dan juga perusahaan semen dalam negeri lainnya sangat mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri."Yang patut dicatat adalah total kapasitas Nasional terpasang, sebentar lagi di akhir tahun sudah mencapai 120 juta ton. Dan patut dicatat juga bahwa Pasar hanya bisa menyerap sebesar 69,8 juta ton. Jadi terjadi kelebihan kapasitas yg sangat signifikan," ujar Hendi.
Ia memprediksi jika moratorium tak dilakukan maka kondisi kelebihan pasokan akan terus berlanjut dan lambat laun akan menekan harga semen. Apalagi, para pabrik semen asing ini memasang harga jual yang sangat rendah meski memang secara kualitas sangatlah minim.
"Kondisi supply demand domestik seperti yang kami sampaikan, over kapasitas terjadi sejak tahun 2016 dan diperkirakan akan terus berlanjut, proyeksi kami ke depan pun akan lebih agresif dan tetap terjadi over capacity. Sedangkan dari sisi konsumsi semen perkapita Indonesia tergolong rendah dibandingkan negara tetangga baik regional maupun Asia," ujar Hendi.