REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Nawir Arsyad Akbar, Febrianto Adi Saputro
Lima anggota DPR RI dari sejumlah fraksi partai politik di DPR mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga di DPR. Diketahui, ada 146 pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga.
Salah satu yang menuai kontroversi adalah pasal terkait penyimpangan seksual. Tidak hanya sejumlah pasal mengenai penyimpangan seksual, RUU Ketahanan Negara juga mengatur larangan donor dan jual beli sperma.
Berdasarkan draf RUU Ketahanan Keluarga yang diterima Republika, Pasal 86 menyatakan, "Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."
Di pasal 87, "Orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang sama seperti yang termuat dalam pasal 86."
Adapun berdasarkan penjelasan di RUU tersebut, ada empat hal yang dikategorikan dalam pasal tersebut. Penyimpangam pertama yakni sadisme, yang dideskripsikan sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya. Kedua, masokisme dianggap kebalikan dari sadisme, sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan lawan jenis.
Ketiga, RUU ini juga mengatur homoseks dan lesbian sebagai masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama. Keempat, RUU ini melarang inses atau hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang dilarang kawin.
Selain mengatur soal penyimpangan, RUU itu juga melarang jual beli dan donor sperma. Pasal 139 RUU tersebut menyatakan, "Orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta."
Pasal 140 juga menyatakan, "Orang yang dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500 juta."
Selain itu, "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan surogasi atau dengan sengaja membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain agar bersedia melakukan surogasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun untuk pelaku, dan 7 tahun untuk pembujuk atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta."
Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi menjelaskan bahwa RUU Ketahanan Keluarga diusulkan oleh lima orang. Dan, sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Adapun lima orang pengusulnya, yakni Ledia Hanifa dan Netty Prasetyani dari Fraksi PKS. Serta, Endang Maria Astuti (Golkar), Sodik Mujahid (Gerindra), dan Ali Taher Parasong (PAN).
"Karena sudah disahkan di paripurna, maka ibarat taksi argonya itu mulai jalan. Tahapan untuk menuju RUU itu sudah bisa dilakukan," ujar Baidowi.
Salah satu pengusul RUU ini, Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani mengatakan, RUU itu berfokus pada jenis penyimpangan seksual yang menimbulkan 'gangguan'. Meskipun, Netty juga tak menjelaskan maksud dari gangguan yang ia maksud.
"Kita hanya concern pada jenis penyimpangan seksual yang menimbulkan gangguan atau masalah bagi orang lain. sehingga ketika kita bicara tentang seksualitas yang menjadi orang lain sebagai korban, kemudian menjadi anggota keluarga tidak mampu tumbuh dan berkembang," kata Netty saat dikonfirmasi soal RUU tersebut.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Netty Prasetyani
Netty juga mengklaim, RUU ini membuka jalan untuk anggota keluarga yang selama ini tidak berani melaporkan penyimpangan, untuk mendapatkan rehabilitasi sosial dan ekonomi. "Kan seringkali istri tidak berani melaporkan si suami yang mencabuli anak gadisnya sendiri, apa akan kita biarkan," kata dia menambahkan.
Pengusul RUU Ketahanan Keluarga yang lainnya, Sodik Mudjahid mengungkapkan alasan tindakan penyimpangan seksual wajib dilaporkan ke lembaga rehabilitasi.
"Coba kita lihat lebih mendasar, contoh homoseksual, apakah itu tidak mengganggu kepada masa depan umat manusia dalam basis keluarga? Maka selain diatur di undang-undang lain, keluarga sebagai basic segalanya harus dilindungi," kata Sodik di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2).
Ia berpandangan keluarga adalah lembaga dasar, di mana etika moral perilaku disampaikan dimulai dari keluarga. Oleh karena itu menurutnya kualitas keluarga perlu dikuatkan.
"Menguatkan mutu keluarga berkualitas, termasuk melindungi keluarga dari hal-hal semacam itu," ujarnya.
Ia pun mengajak masyarakat untuk melihat persoalan tersebut lebih objektif ketika RUU tersebut diperdebatkan lantaran dinilai terlalu mengurusi persoalan privat seseorang. Menurutnya, persoalan penyimpangan seksual perlu dilihat berdasarkan pendekatan normatif seperti misalnya sesuai atau tidaknya dengan nilai-nilai Pancasila.
"Dari dulu kan selalu didebatkan. Mohon maaf saya kira Pancasila berbeda mana ukuran-ukuran privacy dan mana ukuran-ukuran bangsa. Mungkin di negara barat dianggap urusan pribadi, tapi ketika masuk Pancasila tidak pribadi lagi," jelasnya.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memastikan pihaknya akan mencermati poin-poin yang ada di dalamnya. Ia menegaskan, bahwa RUU Ketahanan Keluarga bukanlah merupakan usulan fraksi ataupun komisi di DPR.
"Oleh karena itu nanti kita sama-sama cermati niat baik dari kawan-kawan yang mengusulkan UU ini secara perseorangan," ujar Dasco di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/2).
Guna menghindari kontroversi di kemudian hari, pihaknya akan melakukan sinkronisasi di Badan Legislasi (Baleg). "Ini akan kita sama-sama cermati dan sama-sama membuat daftar inventarisasi masalahnya," ujar Dasco.
Ditanya, apakah RUU ini merupakan pesaing dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)? Dasco mengaku tidak tahu. Namun, sekali lagi ia menegaskan bahwa pembahasannya akan dicermati oleh DPR.
"Apakah itu menjadi pesaing RUU PKS yang kemarin sempat tertunda tetapi yang pasti UU yang akan dibahas ini akan sama-sama kita cermati," ujar Dasco.