REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III (Hukum) DPR RI menggelar rapat dengar pendapat bersama Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo soal kasus korupsi PT Trans Pasific Petro Chemical Utama (TPPI) atau kasus Kondensat pada Rabu (19/2). Dalam rapat itu, anggota Komisi III mempertanyakan keseriusan polisi dalam mengejar terdakwa Honggo Wendratno.
"Saya tidak mau berprasangka buruk, ini melarikan diri atau dilarikan?" kata Anggota Komisi III DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan dalam rapat tersebut.
Ia meminta Bareskrim untuk juga memastikan pada pihak Keimigrasian soal tindak tanduk dan lalu lintas Honggo baik masuk, maupun ke luar negeri.
Arteria pun mengkritik upaya kepolisian yang menurutnya seperti tidak menunjukkan niat dalam mengejar Honggo dalam rentang lima tahun sejak kasus ini diproses.
"Ini apa yang dilakukan kepolisian? Di sini kok bersurat bersurat bersurat bersurat saja, upaya pencarian seperti apa? Ini 400 ribu polisi apa nyerah nangkap Honggo? Apa iya Honggo melarikan diri apa diamankan?," ujar dia.
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani dari fraksi PPP mempertanyakan sejauh mana langkah Bareskrim dalam mengejar Honggo yang diduga berada di Singapura. Ia bertanya soal bagaimana proses koordinasi Polri ke Interpol terkait pengajaran Honggo.
Sementara, anggota dari Fraksi PAN Sarifuddin Sudding mempertanyakan ada dan tidaknya pihak - pihak lain yang terlibat dalam kasus yang merugikan negara sekitar Rp 35 triliun itu.
Sedangkan anggota dari PKS Aboue Bakar Alhabsy menekankan pada Kabareskrim agar melacak keseluruhan aset yang dimiliki Honggo.
Anggota dari Demokrat Benny Kabur Harman juga mempertanyakan mengapa Honggo tak ditangkap. Ia bertanya alasan Bareskrim memilih melimpahkan ke berkas ke Kejaksaan Agung (Kejakgung) untuk memilih mekanisme sidang in absentia tanpa menghadirkan Honggo.
"Ini jangan seperti main - main. Teroris saja 3 x 24 jam bisa ditangkap. Teman teman ini ada kesungguhan tidak?" kata Benny.
Lebih lanjut, Benny bahkan mengajak anggota dewan lain untuk melakukan 'sidak' secara diam - diam ke lokasi tempat tinggal Honggo. Barangkali selama ini ternyata Honggo berada di rumahnya dan tidak pergi ke mana pun. "Mungkin kita perlu agendakan berkunjung langsung, incognito saja. Jangan jangan (Honggo) sembunyi di sana," ujarnya.
Menanggapi cecaran DPR, Listyo pun menjelaskan, selama ini Bareskrim telah melakukan berbagai upaya untuk mengejar Honggo. Namun, ia beralasan, upaya itu macet karena Indonesia dan Singapura tidak memiliki perjanjian ekstradisi bilateral. Sehingga, pelimpahan berkas dilakukan ke Kejakgung dengan harapan dapat dilakukan sidang in absentia.
Proses penangkapan Honggo, jelas Listyo, dapat dimungkinkan pada saat putusan pengadilan soal Honggo dinyatakan inkrach. Dengan putusan inkrach, maka kepolisian baru bisa minta bantuan Singapura untuk dapat turut mencari Honggo dengan mekanisme MLA (Mutual Legal Assistance).
"Dengan demikian upaya kami mengembalikan Honggo tidak selesai di sini. Nanti setelah keputusan inkrach kami bisa koordinasi bekerja sama dengan teman teman Menkumham untuk melakukan proses MLA," ujar Jenderal Bintang Tiga itu.
Terkait penelusuran aset, senilai 2,577 miliar dolar AS aset milik telah disita Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri. Nilai aset yang disita itu diakui Listyo masih di bawah dari total kerugian negara yang diakibatkan perbuatan Honggo cs dalam perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) penjualan kondensat bagian negara senilai 2,716 miliar dolar AS.
"Kami masih menelisik kemungkinan adanya keuntungan lain oleh Honggo dari hasil penjualan kondensat ke luar negeri," kata Listyo.
Dalam perkembangannya, Bareskrim Polri melimpahkan berkas perkara tahap dua berupa barang bukti dan tersangka kasus kondensat ke Kejaksaan Agung pada 31 Januari 2020. Berkas perkara tersebut diserahkan langsung kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang telah ditunjuk oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Sejak Mei 2015, penyidik sudah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi kondensat ini. Mereka adalah Raden Priyono, Djoko Harsono, dan Honggo Wendratno.
Raden Priyono dan Djoko Harsono sudah diamankan. Sementara Honggo Wendratno belum ditahan, dan terakhir kali diketahui menjalani perawatan kesehatan pascaoperasi jantung di Singapura.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para tersangka adalah Tindak Pidana Korupsi Pengolahan Kondensat Bagian Negara. Mereka dinilai melawan humum karena pengolahan itu tanpa dilengkapi kontrak kerja sama, mengambil dan mengolah serta menjual kondensat bagian negara yang merugikan keuangan negara.
Sebagaimana telah dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI, negara dirugikan sebesar 2,716 miliar dollar AS. Jika dikonversi ke rupiah, nilainya sekitar Rp 35 triliun.