REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, aturan dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menyebutkan keluarga harus melapor karena anggota keluarganya mengalami penyimpangan seksual sebagai bentuk diskriminatif. Menurutnya, negara tak bisa mengabaikan konteks perlindungan HAM dan keilmuan.
"Bagi saya itu diskriminatif, perspekif yang berbeda soal keberadaan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) bisa diperdebatkan dalam konteks keilmuan. Tapi tidak bisa mengabaikan konteks perlindungan HAM-nya," ujar Feri di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu (19/2).
Dia mengatakan, masyarakat baik minoritas maupun mayoritas harus dilayani negara dan mengesampingkan haknya. Dia pun mempertanyakan, ketika seseorang yang memiliki penyimpangan seks seperti LGBT suatu kejahatan sehingga wajib lapor.
"Apa dasarnya melaporkan itu, apakah ini dianggap kejahatan sehingga wajib lapor? Koruptor saja tidak wajib lapor," kata dia.
Feri menilai, aneh ketika undang-undang dibuat untuk mengatur norma dan etika hingga ke kehidupan keluarga. Segala perbedaan dan permasalahan keluarga, seharusnya diselesaikan secara kekeluargaan, bukan melalui peraturan perundang-undangan.
"Ada hal yang perlu diatur, tapi tidak diatur . Ada yang tidak perlu diatur malah diatur. Etika tidak bisa diatur. Itu sangat positifistik, semua hal mau diatur," ujar dia.
Berdasarkan draf RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK) yang diterima Republika, Pasal 86 menyatakan, "Keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."
Di pasal 87, "Orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang sama seperti yang termuat dalam pasal 86."
Adapun berdasarkan penjelasan di RUU tersebut, ada empat hal yang dikategorikan dalam pasal tersebut. Penyimpangam pertama yakni sadisme, yang dideskripsikan sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya. Kedua, masokisme dianggap kebalikan dari sadisme, sebagai cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan lawan jenis.
Ketiga, RUU ini juga mengatur homoseks dan lesbian sebagai masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama. Keempat, RUU ini melarang inses atau hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang dilarang kawin.