REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra, menuturkan, pelibatan ormas Islam dalam penetapan fatwa halal sebagaimana tercantum dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja harus dibatasi. Menurut dia, selain Majelis Ulama Indonesia (MUI), dua ormas Islam sudah cukup sebagai pihak yang mengeluarkan fatwa halal.
"Harus ada semacam klasifikasi dan kualifikasi, jadi tidak semua ormas Islam biar tidak menimbulkan kekacauan. Kalau bisa ya paling banyak dua atau tiga ormas," ujar dia kepada Republika.co.id di Tangerang Selatan, Rabu (19/2).
Jika semua ormas Islam berbadan hukum diberi wewenang untuk penetapan fatwa halal, menurut Azra, ini bisa menimbulkan masalah. Misalnya, terkait standardisasi penetapan fatwa halal dan sebagainya sehingga akan menyulitkan koordinasi.
"Ormas Islam kan banyak sekali. Bisa menimbulkan masalah dalam hal ukuran-ukurannya dan sebagainya," ujar mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Azra menyadari, selama ini MUI melalui komisi fatwa menjadi satu-satunya pihak yang menetapkan kehalalan suatu produk. Dia pun tidak sepakat jika hanya komisi fatwa MUI yang dapat menetapkan fatwa halal. Sebab ini wujud monopoli dan segala bentuk monopoli menurutnya tidak baik.
"Kalau satu saja, itu dimonopoli. Dan monopoli itu jadi barang mainan seperti yang terlihat selama ini. Dari sudut kemaslahatan, jadi lebih baik jangan semua ormas, karena memang banyak sekali. Tapi jangan juga dimonopoli satu saja. Kalau bisa ya maksimal tiga, termasuk komisi fatwa MUI," ujarnya.
Menurut Azra, dengan tidak adanya monopoli, maka masyarakat diberi pilihan. Kalau tunggal, yakni hanya MUI yang mengeluarkan fatwa halal, dampaknya sering kali merugikan masyarakat.
Azra menekankan publik harus diberi pilihan. Kalau terjadi monopoli, menurut dia justru cenderung ada penyalahgunaan wewenang.
"Monopoli itu menimbulkan ekses yang tidak baik. Segala sesuatu yang monopoli itu jelek. Karena itu, harus kalau bisa dua atau tiga (lembaga). Tapi harus diberikan wewenang oleh pemerintah," ujar dia.
Ada perubahan signifikan terkait pasal-pasal tentang jaminan produk halal dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Pada Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH), dalam melaksanakan kewenangannya BPJPH hanya bekerja sama dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja, aturan barunya adalah ormas Islam yang berbadan hukum juga jadi pihak yang bisa diajak kerja sama oleh BPJPH. Dalam RUU Cipta Kerja itu, ormas Islam dan MUI akan dilibatkan untuk mengeluarkan fatwa hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. Dalam UU JPH, sidang fatwa halal itu hanya bisa dilakukan MUI.