REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (PusaKo) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga merupakan sebuah keanehan. Sebab menurutnya, jika undang-undang itu berlaku negara sampai masuk ke ruang privat publik.
"Ruang itu jadi aneh kalau negara masuk. Negara bisa masuk dalam ruang yang merugikan publik, kalau negara masuk ke ruang privat itu kesalahan fatal dan tentu melanggar HAM," kata Feri Amsari disela audiensi dengan Kementerian Dalam Negeri, di Jakarta, Rabu (19/2).
Banyak hal privat yang merupakan etika dalam masyarakat menjadi diatur dan bahkan dengan ancaman pidana kalau Ketahanan Keluarga itu disahkan menjadi undang-undang. "Anak patuh kepada orang tua kan etika, tak perlu diundangkan, karena sudah hidup dan tertanam di masyarakat, tiba-tiba ketika ternyata ada perbedaan, langsung jadi pidana sanksi yang lain. Padahal Perbedaan itu bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan," ujarnya.
Contoh, selanjutnya kata dia, dalam RUU perempuan harus di rumah, sementara setiap orang berhak menentukan sendiri kehidupan mereka, termasuk soal relasi antara suami dengan istri. "Ada suami di rumah jaga keluarga, ada juga suami di rumah istri yang kerja. Ada yang sepakat keduanya bekerja. Nah hal itu tidak perlu masuk ruang negara," kata dia.
Seharusnya, menurut dia pemerintah tidak perlu hadir bahkan mengatur secara teknis etika berinteraksi sosial bahkan masalah privat keluarga, sebaiknya fokus saja menyelesaikan persoalan yang lebih besar, berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
RUU Ketahanan Keluarga merupakan usulan dari anggota DPR pada periode 2014-2019 dan masuk dalam Prolegnas 2020. Menurut, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, saat ini RUU itu baru akan disinkronisasikan dan semua pihak, harus bersama-sama mencermati dan fraksi-fraksi di DPR RI membuat Daftar Inventarisir Masalah (DIM).
"Tentunya UU Ketahanan Keluarga itu adalah usulan perseorangan, bukan usulan dari fraksi, yang nantinya akan kita sama-sama cermati," ujarnya.