REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menilai, rencana pemerintah bersama DPR untuk mengenakan cukai terhadap seluruh produk plastik akan menurunkan daya saing industri dalam negeri. Dampak akhirnya, mereka sulit ekspansi yang bisa berujung pada penutupan sejumlah industri.
Fajar mengatakan, cukai produk plastik sama saja dengan memberikan tambahan biaya untuk banyak industri. Mulai dari makanan minuman dan produk kosmetik yang membutuhkan kemasan plastik hingga otomotif yang juga menggunakan plastik untuk sparepart.
"Industri dalam negeri justru semakin kacau. Apakah ini sudah dipertimbangkan?" tuturnya saat dihubungi Republika,co.id, Kamis (20/2).
Efek berikutnya, Fajar menambahkan, industri akan menekan komponen biaya produksi lain untuk mempertahankan margin. Tidak menutup kemungkinan, mereka akan memangkas jumlah pekerja. Hasilnya, tingkat penggangguran terbuka meningkat.
Di sisi lain, inflasi meningkat seiiring dengan harga produk di pasaran yang semakin mahal. Daya beli masyarakat pun semakin melemah. Upaya pemerintah untuk memperkuat perekonomian dari konsumsi rumah tangga dinilai Fajar semakin sulit tercapai.
Tidak hanya itu, Fajar menekankan, penerapan cukai juga akan berbalik pada negara. Pendapatan industri akan menurun seiring dengan meningkatnya biaya produksi, sehingga setoran pajak mereka ke negara pun pasti berkurang.
Fajar memproyeksikan, potensi kehilangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) industri makanan minuman dan kosmetik dapat mencapai Rp 3 triliun per tahun. Artinya, pemerintah akan kehilangan potensi pendapatan negara dengan nominal tersebut.
"Kalau bicara cukai untuk meningkatkan penerimaan negara, upaya ini (cukai produk plastik) bukan obatnya," katanya.
Penolakan juga disampaikan Fajar jika pemerintah mengatasnamakan kepedulian lingkungan untuk penerapan cukai produk plastik. Industri sudah mulai menerapkan ekonomi sirkular atau sistem ekonomi ramah lingkungan, dari semula ekonomi linier.
Dengan ekonomi sirkular, industri berupaya mempertahankan nilai sebuah produk agar dapat digunakan berulang-ulang tanpa menghasilkan sampah melalui cara mendaur ulang (recycling), dan penggunaan kembali (reuse).
Alih-alih menerapkan cukai produk plastik, Fajar menganjurkan pemerintah untuk menghambat atau menghentikan laju impor barang jadi plastik. Komoditas ini masuk ke Indonesia dengan volume 1 juta ton per tahun yang setara dengan nilai 2 miliar dolar AS.
"Pengawasannya pun lebih mudah, karena dilakukan di pelabuhan," katanya.
Selain itu, impor bahan baku plastik yang mencapai 2 juta ton juga dapat dilakukan. Fajar mengatakan, industri plastik dapat diarahkan untuk memaksimalkan penggunaan bahan baku dalam negeri yang kini mulai banyak tersedia.
Upaya ini dapat menciptakan penerimana negara lebih besar dan menjaga sustainabilitas industri di berbagai sektor.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan DPR menyepakati produk plastik sebagai objek kena cukai dalam rapat kerja bersama di Gedung DPR Jakarta, Rabu (19/2).
Kementerian Keuangan akan melakukan kajian kembali terhadap kebijakan yang sudah dirancang. Sebab, sebelumnya, Kemenkeu baru mengusulkan penetapan cukai kantong plastik saja, bukan produk plastik secara keseluruhan.
"Sesuai dengan persetujuan DPR, kita akan redesigning policy ini," tuturnya saat ditemui usai rapat kerja.
Kajian tersebut meliputi detail produk plastik yang akan dikenakan beserta tarifnya dan potensi penerimaan negara maupun dampak inflasi ketika cukai diterapkan. Sri belum menentukan waktu penyelesaian kajian ini.
Untuk rencana cukai kantong plastik, pemerintah sudah mengestimasikan pendapatan negara sebesar Rp 1,6 triliun dengan asumsi tarif cukai sebesar Rp 30 ribu per kilogram. Sri mengatakan, kebijakan ini tidak akan mengganggu daya beli masyarakat mengingat dampak inflasinya yang hanya 0,045 persen. "Itu angka yang kecil," ucapnya.