REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan bunga acuan Bank Indonesia dinilai dapat menjadi stimulus baik untuk ekonomi. Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara menyampaikan menurunkan suku bunga acuan telah menjadi langkah moneter di banyak negara.
"Meskipun butuh waktu untuk transmisi ke bunga kredit perbankan, tapi langkah BI ini cukup baik untuk menstimulus ekonomi," kata Bhima pada Republika.co.id, Kamis (19/2).
Stimulus ini dalam arti biaya pinjaman akan lebih murah, sehingga pengusaha bisa sedikit bernapas. Penurunan suku bunga acuan bisa membantu dari sisi pengeluaran rutin pengusaha seperti pembayaran bunga ke bank.
Artinya, ada kelonggaran untuk meringankan beban pelaku usaha. Untuk kredit konsumsi juga ada dampaknya. Bhima mengatakan pertumbuhan kredit konsumsi turun tajam di 2019. Maka bunga murah bisa jadi dorongan konsumen untuk beli kendaraan bermotor dan rumah.
Maka dari itu, langkah BI perlu dilengkapi dengan upaya koordinasi kebijakan fiskal moneter yang lebih solid. Masalahnya saat ini adalah bagaimana caranya mempercepat transmisi bunga acuan ke bunga kredit.
"Likuiditas bank harus dibantu, pemerintah jangan terlalu agresif terbitkan surat utang, konsolidasi bank dipercepat, BI dan OJK harus saling koordinasi lebih optimal lagi," katanya.
Dari sisi likuiditas, BI kembali menyesuaikan ketentuan terkait perhitungan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Yakni dengan memperluas cakupan pendanaan dan pembiayaan pada kantor cabang bank di luar negeri yang diperuntukkan bagi ekonomi Indonesia.
Menurut Bhima, jika faktor fundamentalnya tidak dibereskan, maka akan tetap berat. Contohnya, Loan to Deposit Ratio (LDR) bank per November di atas 92 persen yang artinya sangat ketat.
"Karena di akhir tahun pemerintah melakukan front loading utang," katanya.
Penarikan utang oleh pemerintah melalui surat berharga negara (SBN) per 4 Desember 2019 secara netto sudah mencapai Rp 460,27 triliun. Secara bruto, penarikan utang melalui SBN per 4 Desember 2019 sudah mencapai Rp 903,36 triliun.
Bunga utang pemerintah sendiri 7-8 persen per tahun. Akibatnya deposan menarik dana dari bank dan pindah ke SBN. Dan hal tersebut membuat bank kelimpungan hingga akhirnya menahan bunga simpanan agar deposan tetap betah.
"Makanya langkah BI perlu dilengkapi dengan upaya koordinasi kebijakan fiskal yang lebih solid dari pemerintah," katanya.
Bhima mengatakan pengaruh Covid-19 juga bisa bertahan lebih lama dari enam bulan. Mengingat SARS dengan korban yang lebih sedikit saja butuh sampai sembilan bulan pemulihan. Ia memperkirakan proses recovery bisa memakan waktu minimal 10-12 bulan.