REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah membeberkan salah satu faktor digagasnya Omnibus Law Cipta Kerja adalah Peraturan Ketenagakerjaan yang sekarang berlaku dianggap kaku. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, kemudahan berbisnis di Indonesia masih tidak lebih baik. Oleh karena itu diharapkan undang-undang sapu jagad dapat menjadi solusi.
Menurut Ida, World Bank menyoroti peraturan ketenagakerjaan Indonesia terkait dengan kemudahan berbisnis. "Dibandingkan dengan negara berpenghasilan menengah ke bawah di Asia Timur dan Pasifik, Indonesia dinilai memiliki peraturan ketenagakerjaan yang kaku, terutama terhadap perekrutan tenaga kerja," ujar Ida di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (20/2).
Ida mengatakan, salah satu kebijakan ketenagakerjaan yang mendapat sorotan adalah upah minimum atau minimum wages, yang dinilai memberatkan perusahaan. Meskipun dapat menjamin kesejahteraan tenaga kerja, perusahaan menganggap rasio upah minimum terlalu tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata laba yang dihasilkan.
"Laporan World Bank selanjutnya menyatakan bahwa setiap kenaikan 10 persen upah minimum, maka akan menurunkan 0,8 persen rata-rata lapangan kerja di provinsi tertentu," ungkapnya.
Kendati demikian, Ida menjelaskan berdasarkan data World Bank, pemerintah Indonesia dinilai telah melakukan beberapa reformasi kebijakan. Tentu saja untuk memperbaiki kemudahan usaha di beberapa aspek. Bahkan refomasi yang dilakukan Indonesia bahkan merupakan kedua yang terbanyak setelah China.
Namun meski agresif, kata Ida reformasi kebijakan tersebut tidak dapat mendongkrak peringkat Indonesia dalam kemudahan berbisnis, atau ease of doing business. Akibatnya, pada 2020, peringkat EoDB Indonesia masih stagnan di peringkat 73 dari 190 negara yang disurvei. "Di ASEAN sendiri, Indonesia masih tertinggal dibanding Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam," terang Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.