REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai penghentian 36 kasus yang dalam tahap penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan preseden yang buruk bagi lembaga antirasuah. "Preseden ini akan memunculkan spekulasi bagi kasus-kasus yang tersangkanya buron juga akan di-SP3-kan. Ini yang harus dihindarkan," kata Fickar menegaskan kepada Republika, Kamis (20/2).
Fickar menuturkan, secara yuridis berdasarkan revisi UU KPK No 19 Tahun 2019, KPK berhak memberikan SP3 atau menghentikan kasus yang ditangani sepanjang memenuhi persyaratannya, yakni telah 2 tahun tidak ditangani. Menurut Fickar, seharusnya KPK melakukannya dengan selektif.
"Terutama kepada tersangka meninggal dunia dan kasus kasus yang memang bukti-buktinya tidak kuat atau kurang alat buktinya terutama bukti kerugian negaranya. Tetapi bagus kasus yang terkendala politik atau kepentingan kekuasaan sebaiknya tidak di-SP3-kan, sekalipun syarat waktu 2 tahun terpenuhi," kata Fickar.
Oleh karena itu, tambah dia, revisi UU KPK merupakan cikal bakal pelemahan KPK. Bahkan, sambung dia, pelemahan sudah dimulai sejak pemilihan pansel dan rekrutmen komisionernya.
Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Penindakan, Ali Fikri, menutup rapat 36 penyelidikan yang dihentikan oleh lembaga antirasuah. Ia hanya mau memastikan, perkara yang dihentikan penyelidikannya bukan merupakan penyelidikan skandal bailout Bank Century ataupun penyelidikan RS Sumber Waras.
"Tadi juga ada pertanyaan apakah perkara di Lombok lalu RJ Lino, kami pastikan bukan itu (penyelidikan yang dihentikan). Jadi, supaya jelas dan clear, jadi ini perkara bukan di NTB, bukan RJ Lino, bukan Century, bukan Sumber Waras, bukan. Kami pastikan itu supaya jelas dan clear," ujar Ali di gedung KPK Jakarta, Kamis (20/2).
Ali menuturkan, terkait disebutkannya 36 penyelidikan yang dihentikan merupakan bagian dari fungsi kehumasan. Menurut dia, dalam sebuah lembaga tentunya biasa kalau kemudian lebih banyak meningkatkan informasi yang bersifat positif.
"Saya kira itu hal yang umum. Kalau kemudian peningkatan kegiatan pemberitaan kegiatan yang bersifat peningkatan reputasi dan sebagainya kelembagaan secara umum dan ini saya kira kebijakan dua di lembaga manapun juga demikian," katanya.
Ali melanjutkan, penghentian perkara di tingkat penyelidikan bukanlah praktik yang baru dilakukan saat ini saja di KPK. Ia mengungkapkan, data lima tahun terakhir sejak 2016 KPK pernah menghentikan penyelidikan sebanyak total 162 kasus.
"Penghentian tersebut tentu dilakukan dengan sangat hati-hati dan bertanggung jawab," kata Ali.
Adapun, sejumlah pertimbangan penghentian, yaitu sejumlah penyelidikan sudah dilakukan sejak 2011 atau 9 tahun ini, 2013, 2015 dan lainnya. Selama proses penyelidikan dilakukan tidak terpenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan, seperti bukti permulaan yang cukup, bukan tindak pidana korupsi dan alasan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
"Untuk tahun 2020, jenis penyelidikan yang dihentikan cukup beragam, yaitu terkait dugaan korupsi oleh kepala daerah, BUMN, aparat penegak hukum kementerian/lembaga, dan DPR dan DPRD," ujar Ali.
Selain itu, sesuai dengan Pasal 40 UU KPK No 30 Tahun 2002 yang melarang KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan, di tahap penyelidikan KPK wajib memastikan seluruh kasus yang naik ke penyidikan memiliki bukti yang kuat. Sehingga sudah sepatutnya proses penghentian sebuah perkara dilakukan di tahap penyelidikan.
Sama halnya dengan pascaberlakunya UU KPK yang baru. Meskipun UU No 19 Tahun 2019 membuka ruang secara terbatas bagi KPK untuk menghentikan perkara di tingkat penyidikan dan penuntutan, KPK tetap wajib menangani perkara secara hati-hati. Pada Pasal 40 UU No 19 Tahun 2019 penghentian penyidikan dapat dilakukan jika belum selesai dalam jangka waktu dua tahun.
"Sehingga, dalam proses penyelidikan lah kecukupan bukti awal diuji sedemikian rupa. Jika bukti cukup, dapat ditingkatkan ke penyidikan. Namun, jika tidak cukup, maka wajib dihentikan," ujarnya.
Bulan lalu Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan alasan penghentikan penyelidikan sejumlah kasus. Lembaga tersebut pasalnya memiliki tunggakan penanganan kasus korupsi sebanyak 113 perkara selama 2008-2020.
Ketika itu Indonesia Corruption Watch (ICW) berharap kajian mendalam sudah dilakukan atas kasus yang akan dihentikan penyelidikannya. ICW harap penghentian tidak didasarkan subjektivitas.
"Harus dijelaskan apabila mau hentikan perkara harus jelas tolok ukurnya apa. Jangan sampai penghentian perkara atas dasar subjektivitas semata," ujar Kurnia.
Kurnia menilai, adanya kemungkinan penghentian kasus merupakan salah satu poin buruk dari UU KPK yang baru. Menurut dia, selama ini perkara di KPK yang sudah masuk ke persidangan.
"Dan tingkat pembuktian KPK sampai hari ini kan masih 100 persen. Berarti kan no problem di KPK," katanya.